Masjid Al-Badri, Konon Dibangun Keturunan Jaka Tingkir
Memasuki bulan Ramadhan, biasanya ada yang sengaja melakukan perjalanan atau wisata, dalam hal ini wisata religi. Salah satu destinasinya adalah masjid, seperti Masjid Al-Badri di Sidoarjo, tepatnya di Desa Tawangsari, Kecamatan Taman.
Tak hanya wisatawan, musafir dan masyarakat setempat juga seringkali datang ke Masjid Al-Badri untuk menunaikan sholat. Masjid yang memiliki luas 625 meter persegi ini mampu menampung kurang lebih 1.000 jamaah. Tentu ukuran yang sangat besar, mengingat masjid ini juga digunakan untuk menunaikan sholat tarawih maupun sholat Idul Fitri dan Idul Adha.
Menariknya, usia masjid tersebut terbilang tua sekitar 161 tahun. Pasalnya, Al-Badri berdiri pada kisaran 1850 - 1860. Masjid ini dibangun KH. Raden Mas Abdul Wahab bin Abdullah Joyorogo. Nasabnya terus tersambung sampai ke Jaka Tingkir atau Mas Karebet. Jaka Tingkir adalah pendiri sekaligus raja pertama di Kerajaan Pajang yang memerintah pada 1549 – 1582, dikenal juga sebagai Sultan Hadiwijaya.
Imam besar Masjid Al Badri ini adalah keturunan kelima KH. Raden Mas Abdul Wahab, yang akrab disapa dengan Abah Habib.
Pendirian masjid Al-Badri buka perkara yang mudah pada masanya. Sebab, kala itu Desa Tawangsari dan sekitarnya memiliki masyarakat yang mayoritas menganut agama Hindu dan Budha. Raden Mas Abdul Wahab seringkali mendapatkan terror dan ancaman dalam kegiatannya menyebarkan agama Islam. Hal ini karena ketidaksenangan masyarakat yang menyampaikan ajaran Islam di wilayah Tawangsari.
Untuk memudahkan kegiatan dakwahnya, KH. Raden Mas Abdul Wahab memutuskan untuk membangun sebuah masjid yang kini menjadi Masjid Al-Badri. Masjid ini dulunya difungsikan sebagai tempat ibadah sekaligus sebagai tempat untuk menyebarkan ilmu dan ajaran Islam.
Namun, respon dari masyarakat sekitar justru tidak baik dan tidak suka dengan dakwah sang kyai. Bahkan, masyarakat menantang Kyai untuk berperang. Yana mana, pihak menang akan menguasai wilayah dan yang kalah harus berguru kepada yang menang.
Sang kyai tidak menyukai adanya kekerasan dan pertumpahan darah. Berdasarkan kisah yang diulas sejumlah sumber, saat itu, dengan karomah bela diri yang dimiliki maka Kyai Abdul Wahab membuat musuhnya kaku mendadak ketika akan menyerang, dan segera pulih kembali setelah beberapa saat.
Singkat cerita, tanpa adanya pertumpahan darah, Sang Kyai menjadi pemenang. Dari sinilah awal penyebaran Islam di Masjid Al-Badri Sidoarjo. Dan kini, masyarakat dapat mengunjungi masjid bersejarah ini untuk beribadah, serta bersosialisasi dengan keturunan Sang Kyai yang menjadi pengurus masjid ini.