Naftali Bennett, Eks Sekutu yang Gulingkan Netanyahu Sebagai PM Israel
Rekor 12 tahun Benjamin Netanyahu sebagai Perdana Menteri Israel berakhir hari Minggu (14/6) kemarin. Parlemen Israel menyetujui pemerintahan baru yang dipimpin Naftali Bennett dengan suara 61:59 di Knesset atau perlemen.
Bennet yang memimpin Partai Yamina akan menjadi PM Israel hingga September 2023 sebagai bagian kesepakatan pembagian kekuasaan. Ia akan menyerahkan posisinya kepada pemimpin Partai Yesh Atid yakni Yair Lapid untuk memimpin hingga 2025. Sedangkan Netanyahu akan menjadi pemimpin oposisi Israel.
"Saya katakan kepada mereka yang berniat merayakan malam ini, jangan menari di atas penderitaan orang lain. Kami bukan musuh," kata Bennett," Minggu (10/6) dikutip dari BBC.
Kegagalan Netanyahu menjaga posisinya sebagai kepala pemerintahan Israel tak lepas dari dukungan terhadap partainya, Likud, yang terus menurun. Meski masih memenangkan pemilihan umum, namun partainya tak mampu mendapatkan dukungan yang kuat untuk membentuk pemerintahan baru.
Buntutnya, sejumlah partai seperti Yamina, Lapid, hingga Ra’am yang merupakan partai minoritas Arab sepakat berkoalisi dan mendongkel Netanyahu.
Meski demikian, terpilihnya Bennett ditanggapi skeptis oleh Palestina. Mereka menganggap mantan Menteri Pertahanan Israel itu akan melanjutkan kebijakan Netanyahu.
“Bennett menentang Negara Palestina, dia juga percaya aneksasi pemukiman. Itu mengapa kami tak optimis,” kata seorang pejabat Palestina yang enggan disebut namanya dikutip dari Jerusalem Post.
Lalu siapa Naftali Bennet?
Pria kelahiran Haifa, 25 Maret 1972 itu adalah putra imigran Yahudi dari San Fransisco, Amerika Serikat. Dia mengawali karir sebagai pasukan pertahanan Israel (IDF) dari 1990 sampai 1996.
Dikutip dari Mint, Salah satu operasi yang dijalankannya adalah pertempuran dengan Hezbollah di Lebanon selatan pada 1996. Bennett lalu mengakhiri karir dengan pangkat terakhir mayor.
Usai berkarir di militer, ia lalu berkuliah hukum Hebrew University of Jerusalem. Selanjutnya, tahun 1999 ia ikut mendirikan Cyota, perusahaan perangkat lunak anti-penipuan.
Karir bisnisnya berjalan moncer, bahkan ia sempat menjadi CEO Soluto, perusahaan berbasis teknologi yang menyediakan layanan berbasis cloud. Perusahaan ini sempat mendapatkan pendanaan US$ 20 juta dari sejumlah pemodal, dan akhirnya dijual ke perusahaan AS yakni Asurion dengan biaya yang dikabarkan mencapai US$ 130 juta.
Sembari berbisnis, Bennett juga mulai menapaki karir politiknya dengan menjadi anggota tim Benjamin Netanyahu, yang saat itu menjadi oposisi, pada 2006. Ia juga memimpin kampanye Netanyahu dalam pemilihan ketua Partai Likud setahun kemudian.
Bennett juga memosisikan dirinya sebagai sekutu Netanyahu di Partai Likud dan mendukung permukiman Yahudi di Tepi Barat. Bahkan ia pernah menjabat sebagai kepala dewan kota pemukiman Yahudi Tepi Barat, Yesha.
“Dia adalah pemimpin sayap kanan, garis keras, tetapi pada saat yang sama sangat pragmatis,” kata Yohanan Plesner, kepala Institut Demokrasi Israel dikutip dari Mint, Senin (14/6).
Di era Netanyahu, Bennett menjalani sejumlah jabatan di kabinet dimulai dari Menteri Ekonomi serta Menteri Agama pada 2013 sampai 2015. Berikutnya, Menteri Hubungan Diaspora (2013-2019), Menteri Pendidikan (2015-2019), serta Menteri Pertahanan (2019-2020).
Namun ia berpisah jalan usai perselisihan yang oleh media Israel terkait istri Netanyahu, sosok berpengaruh atas lingkaran dalam suaminya. Bennett lalu membentuk Partai Yamina yang berhaluan kanan jauh.
Kolumnis di harian Haaretz, Anshel Pfeffer mengatakan Bennett merupakan generasi ketiga pemimpin Israel, usai para pendiri negara dan Netanyahu. Ia juga menyebut sang PM sebagai nasionalis meski tak terlalu dogmatis.
“Seorang militer yang menyukai kehidupan sipil perkotaan seorang pendukung Tanah Besar Israel tetapi bukan pemukim,” katanya.