Suara Parpol Terbelah Menyikapi Wacana Amendemen UUD 1945
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengangkat kembali wacana perubahan terbatas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Namun, pendapat partai politik terbelah mengenai rencana amendemen UUD 1945 tersebut.
Sekretaris Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno mengatakan, amendemen UUD 1945 bisa dilaksanakan lantaran ada ketentuan yang mengatur perubahan konstitusi tersebut. Hal ini juga disampaikan oleh Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan.
"(Amendemen) itu secara hukum diperbolehkan," kata Eddy kepada Katadata.co.id, Kamis (26/8).
Meski begitu, ia mengakui prosesnya tidak mudah sebab ada persyaratan jumlah suara yang harus terpenuhi. Partai yang baru bergabung dengan koalisi pemerintah itu menyepakati adanya amandemen terbatas.
"Kalau hanya sebatas mencantumkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) ke dalamnya, tentu kami akan sikapi dengan positif," ujar dia.
Ia menilai, kesepakatan politik di antara fraksi di parlemen, pimpinan DPR, dan DPD diperlukan guna menjamin amandemen dilakukan terbatas, yaitu menambah PPHN. "Saya kira itu sudah cukup kuat (untuk mencegah adanya agenda lain)," kata dia.
Selain itu, pengawasan dari masyarakat dianggap penting. Sebab, masyarakat bisa mengecam upaya amandemen UUD 1945 apabila perubahan merembet pada pasal-pasal lain.
Adapun, Eddy enggan membahas lebih lanjut apakah wacana amandemen UUD 1945 tersebut sudah dibahas dengan Presiden Joko Widodo. Sebagaimana diketahui, para partai koalisi menemui Kepala Negara pada Rabu (26/8).
"Substansi dari pertemuan kemarin ditanya ke Sekken PDIP atau Sekjen Nasdem karena mereka yang beri statement kepada media," kata Eddy.
Dukungan juga diberikan oleh Partai Gerindra. Partai yang dibesut Prabowo Subianto itu menyatakan dukungannya terhadap amendemen UUD 1945 demi menghidupkan kembali haluan negara.
Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan RI hingga saat ini belum memiliki disain di masa depan. Sementara, pada 2045 Indonesia akan genap berusia satu abad sehingga perlu desain pembangunan di berbagai bidang.
"Jadi desain di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi seperti apa. Kemudian untuk mencapai tujuan itu apa saja alat pendukung yang diperlukan," ujar Muzani di kantor PDIP, Jakarta, Selasa (24/8) dikutip dari Antara.
Sementara, Wakil Ketua MPR dari Fraksi Demokrat Syarief Hasan mengatakan partainya sejak awal menolak amandemen. "Pengalaman cukup dengan UU Nomor 17 dan UU Nomor 25 tentang RPJPM (Rencana Pembangunan Jangka Panjang-Menengah) dan sistem Pembangunan Nasional," kata dia.
Selain itu, ia mempertanyakan siapa yang akan menjamin amandemen tidak melebar ke pasal di luar PPHN. Terlebih, amandemen itu juga akan mengubah sistem ketatanegaraan dan konstitusi Indonesia.
Para pimpinan MPR telah bertemu dengan Jokowi untuk membahas amandemen tersebut pada pekan lalu. "Dia (Jokowi) komentar ada kekhawatiran (perubahan) melebar. Namun itu adalah wewenang MPR," ujar dia.
Sedangkan PDI Perjuangan pada awal pekan ini menyatakan wacana amendemen UUD 1945 tak akan menjadi prioritas mereka dalam waktu dekat ini. Hal tersebut lantaran partai sedang berfokus pada penanganan Covid-19 dan dampaknya.
Padahal gagasan amendemen tersebut telah masuk dalam Keputusan Kongres V PDIP demi memasukkan PPHN. "Sehingga atas hal tersebut, Ibu Megawati menegaskan bahwa kebijakan PDIP adalah slowing down," kata Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto usai menerima kunjungan DPP Partai Gerindra, Selasa (24/8).
Sedangkan Partai Nasdem mengatakan rencana tersebut harus dikonsultasikan dengan masyarakat secara luas. Mekanismenya lewat survei, diskusi publik, hingga mendengarkan aspirasi tokoh masyarakat maupun agama.
"Perlu ada konsultasi dengan rakyat karena amendemen konstitusi harus berasal dari keinginan mereka bukan elite politik," kata Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Johnny G. PlateJohnny di Istana Kepresidenan, Rabu (25/8).
Sebelumnya wacana ini dilontarkan kembali oleh Ketua MPR yang juga politisi Golkar Bambang Soesatyo dalam Sidang Tahunan MPR, 16 Agustus lalu. Menurutnya, semangat perubahan UUD ialah dalam rangka penataan sistem ketatanegaraan yang lebih baik dan mewadahi PPHN.
"Perubahan terbatas tidak memungkinkan untuk membuka kotak pandora, eksesif terhadap perubahan pasal-pasal lainnya," kata Bambang.
Sebelumnya beberapa pakar dan politisi mengkhawatirkan revisi UUD 1945 tak hanya memasukan PPHM namun membuka wacana lain seperti perpanjangan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode.
Jokowi Panggil Partai Koalisi
Soal amendemen ini kabarnya juga jadi pembicaraan Presiden Joko Widodo saatmemanggil petinggi partai koalisi ke Istana Negara di Jakarta, Rabu (25/8). Ini merupakan lanjutan setelah Jokowi mengundang pimpinan MPR di Istana Bogor pada 13 Agustus lalu.
"Jokowi ingin mengetahui respons dan pendapat para petinggi politik mengenai isu amendemen," kata sumber yang dekat dengan petinggi partai koalisi pemerintah.
Namun Sekretaris Jenderal PPP Arwani Thomafi yang hadir dalam pertemuan tersebut membantah adanya pembahasan amendemen UUD 1945. Presiden hanya membahas mengenai situasi terkini pandemi dan langkah pemerintah.
"Presiden tidak menyinggung amendemen konstitusi, juga tidak membahas reshuffle," kata Arwani kepada Katadata.co.id, Kamis (26/8).
Adapun pakar tata hukum negara menilai tidak ada urgensi untuk melakukan amendemen UUD 1945. Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Aturan tersebut mengatur Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Pembangunan Jangka Pendek (RPJP).
"Tidak ada urgensinya. Kalau fokus memasukan PPHN, tidak perlu," kata Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti kepada Katadata.co.id, Kamis (19/8).
Untuk itu, amendemen UUD 1945 perlu dicegah sejak awal agar tak menjadi bola liar, termasuk perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. "Jangan sampai jadi agenda karena pasti bisa lolos, seperti UU Cipta Kerja dan UU KPK," ujar dia.