Sejarah Amendemen UUD 1945 di Indonesia, Butuh Momentum Kuat
Wacana amendemen UUD (Undang-Undang Dasar) 1945 terus bergulir liar meskipun beberapa pihak terkait sudah membantahnya. Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco menegaskan sampai saat ini belum ada pembicaraan terkait amendemen di parlemen.
"Amendemen ini baru berupa wacana dan belum tentu jadi dilaksanakan," kata Dasco, Senin (6/9).
Wacana amendemen UUD 1945 bukan kali ini saja berhembus. Pada 2007, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menuntut penambahan kewenangan melalui perubahan terhadap konstitusi. Upaya ini kandas di tengah jalan karena tidak mendapatkan dukungan dari sepertiga anggota MPR yang menjadi salah satu syarat pintu masuk amandemen.
Amendemen pada prinsipnya bertujuan mengubah/menambah, atau mengurangi pasal-pasal tertentu terhadap dokumen resmi. Amendemen terhadap UUD 1945 berarti mengubah konstitusi yang menjadi landasan hukum bernegara di Indonesia.
Dalam sejarahnya, UUD 1945 sudah empat kali diamendemen yakni pada 1999-2002. Mantan anggota Komisi Yudisial periode 2010-2015 Taufiqurrohman Syahuri menegaskan amendemen Konstitusi membutuhkan momentum kuat agar bisa dilakukan.
Dalam tulisannya ‘Amandemen UUD Negara RI Tahun 1945 Menghasilkan Check and Balances Lembaga Negara’, Taufiq menyebut empat amandemen UUD 1945 dipicu oleh pengunduran diri Soeharto pada 21 Mei 1998. Peristiwa ini sekaligus meruntuhkan mitos bahwa UUD 1945 bernilai sakral dan menjadi titik awal momentum upaya perubahan terhadap UUD.
“Tanpa momen yang kuat wacana perubahan undang-undang dasar akan tetap menjadi wacana, isu perubahan undang-undang dasar hanya akan berjalan di tempat,” tulisnya.
Kendati baru diamendemen pada era pasca reformasi, perubahan terhadap UUD 1945 sebenarnya sudah beberapa kali terjadi. Konstitusi Indonesia bermula dari Hukum Dasar yang disahkan oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Satu hari setelah proklamasi yakni 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membentuk Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Masa-masa genting 1945-1949 membuat dasar konstitusi kita berubah-ubah. Pada 1949 misalnya, UUD diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan kemudian diganti lagi dengan UUD Sementara 1950. Baru pada 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden untuk mengembalikan marwah UUD 1945 sebagai konstitusi.
UUD 1945 menjadi sangat sangat sakral di era Orde Baru. Soeharto menginisiasi sejumlah ketetapan MPR untuk menjaga sakralitas konstitusi. Ini misalnya aturan bahwa MPR tidak akan melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Jika ingin mengubah UUD, MPR harus menggelar referendum untuk meminta pendapat dari rakyat.
Baru pada era reformasi, desakan untuk mengubah UUD 1945 bergulir deras. Hal ini disebabkan oleh pasal-pasal di UUD 1945 yang dinilai memberikan kekuasaan terlalu besar kepada presiden. Sejak itulah konstitusi mengalami sejumlah amendemen hingga membentuk wujudnya saat ini.
Dalam empat kali amendemen, ada 75 pasal yang diubah. Beberapa poin krusial yang diubah antara lain penghapusan kedudukan MPR sebagai lembaga paling tinggi negara, juga kekuasaan presiden yang kala itu berwenang menerbitkan Undang-Undang.
Beberapa lembaga baru seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, dan Bank Sentral juga dilahirkan melalui amendemen UUD 1945.
Menurut Taufiqurrohman, masih ada beberapa pekerjaan rumah yang terlewatkan dalam amendemen UUD 1945. “Contohnya posisi Jaksa Agung yang masih berada di bawah kekuasaan eksekutif. Akan lebih baik jika posisi Kejaksaan dilebur dalam lembaga independen semacam KPK,” tulisnya.