Peneliti Gugat Peleburan BRIN, Hakim MK Minta Berkas Diperbaiki
Mahkamah Konstitusi mengembalikan berkas permohonan uji materi dalam sidang perdana gugatan peleburan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dilayangkan oleh dua orang peneliti.
Para penggugat yakni peneliti di Kementerian Hukum dan HAM eko Noer Kristiyanto dan anggota Dewan Riset Daerah DKI Jakarta Heru Susetyo. Keduanya menggugat Pasal 48 ayat 1 dan Penjelasan Pasal 48 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang memuat kata ‘terintegrasi’.
Kuasa hukum penggugat Zainal Arifin Husein mengatakan frasa ‘terintegrasi’ di pasal tersebut cenderung multitafsir. Mereka mempertanyakan apakah integrasi hanya sebatas koordinasi penyusunan program, anggaran dan lain-lain atau integrasi peleburan kelembagaan. Pemerintah sendiri menerjemahkan ‘integrasi’ sebagai peleburan sejumlah lembaga seperti BATAN, BPPT, LIPI, dan LAPAN menjadi satu kesatuan yakni BRIN. Saat ini, BRIN dipimpin oleh Laksana Tri Handoko dan Megawati Soekarnoputri sebagai Dewan Pengawas.
Para pemohon menilai frasa ‘terintegrasi’ seharusnya tidak dilepaskan dari pasal-pasal sebelumnya di UU Sisnas Iptek. Mengacu pada pasal-pasal tersebut, BRIN berperan sebagai pusat kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan invensi dan inovasi.
“Maka BRIN merupakan badan yang melakukan koordinasi terhadap berbagai lembaga yang menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan serta invensi dan inovasi seperti BATAN, BPPT, LIPI, LAPAN,” dalil pemohon seperti yang diungkapkan dalam sidang, Selasa (21/9).
Dengan demikian fungsi BRIN seharusnya melakukan koordinasi dari tugas-tugas di luar riset dan inovasi. Ini misalnya penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan.
Dalam petitumnya, pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “terintegrasi” Pasal 48 ayat (1) dan frasa “antara lain” dalam Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. BRIN seharusnya bertindak sebagai badan koordinasi, bukan institusi baru yang membuat lembaga riset sebelumnya dilebur.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan sejumlah perbaikan. Enny menyampaikan agar objek pengujian harus jelas dan tidak kabur. Ini misalnya pasal-pasal yang diuji tidak berubah, kejelasan identitas Pemohon sebagai dosen maupun peneliti, termasuk SK Peneliti. Selain itu, pemohon diminta lebih menjelaskan kerugian konstitusional yang dialami Pemohon, serta memperkuat lagi penjelasan pertentangan antara norma yang diuji dengan UUD 1945.
Sementara itu, Anggota Panel, Hakim Konstitusi Saldi Isra mencermati bahwa pada perihal permohonan, Pemohon melakukan pengujian Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek. Namun dalam permohonan, Pemohon ingin juga melakukan pengujian frasa “antara lain” Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek.
“Kemudian apakah Pemohon sudah menguraikan alasan-alasan permohonan terkait pengujian Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2019. Khususnya frasa ‘antara lain’,” ujar Saldi .
Panel Hakim memberikan waktu selama 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan permohonan. Perbaikan tersebut diterima Kepaniteraan MK selambatnya pada Senin, 14 Oktober 2021.