Kemnaker Bela UU Cipta Kerja karena Kepastian untuk Investor
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UU Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Namun, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menilai aturan tersebut menjawab kepastian bagi investor.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker Indah Anggoro Putri mengatakan, sistem pengupahan di Indonesia masih dianggap kendala investasi. Untuk itu, investor menuntut kepastian yang telah dijawab dengan UU Cipta Kerja dan turunannya terutama terkait upah minimum.
Menurutnya, Indonesia memerlukan upah berbasis kinerja yang akan menaikkan produktivitas. "Sehingga baik pengusaha maupun pekerja/buruh sama-sama mendapatkan manfaat dan kenaikan produktivitas perusahaan," kata Indah dalam keterangan pers, dikutip Jumat (26/11).
Dia mengatakan sistem pengupahan yang berbasis produktivitas akan memberikan dampak positif bagi peningkatan daya saing dunia usaha. Hal ini lantaran sistem tersebut akan menumbuhkan budaya dan ritme kerja yang profesional di perusahaan.
Selain itu, sistem pengupahan itu akan berdampak pada kenaikan penghasilan pekerja atau buruh. "Sehingga meningkat pula kesejahteraannya," ujar dia.
Ia mengatakan, Kemenaker tetap berusaha mewujudkan pengupahan yang adil dan sehat. Hal tersebut dengan tetap memperhitungkan kendala dan tantangan ke depan, yaitu revolusi industri 4.0 dan bonus demografi.
Adapun, sistem pengupahan yang sehat ialah yang adil antarwilayah, antarpekerja, unit usaha, dan antara pengusaha dan pekerja. "Maka akan tercipta kondusivitas hubungan industrial," ujar Indah.
Sebelumnya, MK menolak gugatan untuk membatalkan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, tetapi meminta pemerintah dan DPR merevisinya hingga dua tahun ke depan. MK menyebut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat formil karena tidak sesuai dengan tata cara pembentukan undang-undang.
Dalam amar putusannya, Majelis Hakim MK mengacu pada UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Secara garis besar, prosedur pembentukan UU mencakup lima tahapan; pengajuan rancangan, pembahasan bersama DPR dan pemerintah, persetujuan bersama, pengesahan, dan pengundangan.
Salah satu dalil pemohon yang dipertimbangkan MK terkait dengan ketidakjelasan apakah UU Cipta Kerja berupa UU baru, UU Perubahan, atau UU pencabutan. Majelis Hakim menyebut substansi terbesar dalam UU Cipta Kerja merupakan perubahan terhadap sejumlah undang-undang. Setidaknya ada 77 undang-undang perubahan dan 1 UU pencabutan yang termaktub dalam UU Cipta Kerja.
Jika Mengacu pada UU No. 12 tahun 2011, baik UU perubahan maupun UU pencabutan tidak harus disertai kata ‘perubahan’ dan ‘pencabutan’. Inilah yang tidak ada di judul UU Cipta Kerja sehingga dianggap tidak memenuhi standar baku.
“UU 11/2020 tidaklah sejalan dengan rumusan baku atau standar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan karena hal demikian sesungguhnya menunjukkan norma yang dibentuk tersebut seolah-olah sebagai undang-undang baru,” tulis Majelis Hakim.