Mengenal Tari Legong Sebagai Kekayaan Budaya Bali dan Penuh FIlosofi
Prinsip semboyan Bhineka Tungal Ika bukan hanya sekadar kumpulan kata. Namun pegangan hidup yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu” ini terealisasi dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya yang terjadi pada seni tari.
Keberadaan seni tari merupakan salah satu budaya yang dihasilkan dari pemikiran dan interaksi antar mansuia di Indonesia. Selain menyuguhkan keindahan dari lenggak lenggok badan, namun juga makna dari setiap gerakan.
Untuk melihat keberagaman tersebut dapat disaksikan di Pulau Dewata atau Bali. Tarian Bali ini memiliki keunikan karena tidak selalu bergantung pada alur cerita. Tujuan utama penari Bali adalah untuk menarikan tiap tahap gerakan dan rangkaian dengan ekspresi penuh.
Kecantikan tari Bali tampak pada gerakan-gerakan yang abstrak dan indah. Tari-tari Bali yang paling dikenal antara lain Pendet, Gambuh, Baris, Sanghyang dan Legong.
Salah satu dari tarian dari Pulau Bali yang masyhur ada satu tarian yang belum banyak dikenali oleh masyarakat yaitu tari Legong. Berikut penjelesannya yang dikutip dari Ensiklopedia Mini : Tari-tarian Nusantara karya Rizky Utami.
Sejarah dan Asal-Usul Tari Legong
Tari Legong yang merupakan salah satu bagian dari kelompok tarian klasik Bali yang memiliki perbendaharaan gerak yang sangat kompleks yang terikat dengan struktur tabuh pengiring yang konon merupakan pengaruh dari gambuh.
Secara linguistik, kata Legong berasal dari kata "leg" yang artinya gerak tari yang luwes atau lentur dan "gong" yang artinya gamelan. "Legong" dengan demikian mengandung arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang mengiringinya. Gamelan yang dipakai mengiringi tari legong dinamakan Gamelan Semar Pagulingan.
Dalam perkembangannya tarian legong banyak dilaksanakan di keraton-keraton Bali pada abad ke-19. Namun proses kemunculannya diarsiteki dan diawali dari seorang pangeran dari Sukawati yang dalam keadaan sakit keras bermimpi melihat dua gadis menari dengan lemah gemulai diiringi gamelan yang indah. Ketika sang pangeran pulih dari sakitnya, mimpinya itu dituangkan dalam tarian dengan gamelan lengkap.
Hingga saat ini tarian Legong mulai dilestarikan salah satunya syarat penarinya yang merupakan dua orang gadis yang belum mendapat menstruasi, ditarikan di bawah sinar bulan purnama di halaman keraton.
Kedua penari ini, disebut legong, selalu dilengkapi dengan kipas sebagai alat bantu. Pada beberapa tari legong terdapat seorang penari tambahan, disebut condong, yang tidak dilengkapi dengan kipas. Dalam struktur tariannya terdiri atas papeson, pangawak, pengecet, dan pakaad.
Seperti perjalanan seni tari dan kebudayaan lainnya, Legong sempat kehilangan popularitas di awal abad ke-20 oleh maraknya bentuk tari kebyar dari bagian utara Bali. Usaha-usaha revitalisasi baru dimulai sejak akhir tahun 1960-an, dengan menggali kembali dokumen lama untuk rekonstruksi.
Aneka Ragam Tari Legong
Dalam keberagaman tari Legong ada sekitar 18 jenis yang tersebar di kawasan Bali. Dari perkembangan Gianyar (Saba, Bedulu, Pejeng, Peliatan), Badung (Binoh dan Kuta), Denpasar (Kelandis), dan Tabanan (Tista). Berikut penjelasan beberapa jenis tari Legong yang dikutip dari situs Institut Seni Indonesia Denpasar, isi-dps.ac.id.
1. Legong Lasem (Kraton)
Tari Legong yang berasal dari Pulau Dewata ini menjadi hal yang populer dan favorit dalam pertunjukkan wisata. Tari ini dikembangkan di Peliatan. Tarian yang baku ditarikan oleh dua orang legong dan seorang condong.
Condong tampil pertama kali, lalu menyusul dua legong yang menarikan legong lasem. Repertoar dengan tiga penari dikenal sebagai Legong Kraton. Tari ini mengambil dasar dari cabang cerita Panji (abad ke-12 dan ke-13, masa Kerajaan Kadiri), yaitu tentang keinginan raja (adipati) Lasem (sekarang masuk Kabupaten Rembang) untuk meminang Rangkesari, putri Kerajaan Daha (Kadiri), namun ia berbuat tidak terpuji dengan menculiknya.
Namun sayangnya sang putri tersebut menolak pinangan sang adipati karena ia telah terikat oleh Raden Panji dari Kahuripan. Mengetahui adiknya diculik, raja Kadiri, yang merupakan abang dari sang putri Rangkesari, menyatakan perang dan berangkat ke Lasem. Sebelum berperang, adipati Lasem harus menghadapi serangan burung garuda pembawa maut. Ia berhasil melarikan diri tetapi kemudian tewas dalam pertempuran melawan raja Daha.
2. Legong Jobog
Jenis tari Legong yang kedua, adalah Legong Jobog. Dalam tarian ini diatur dengan dimainkan sepasang legong. Kisah yang diambil adalah dari cuplikan Ramayana, tentang persaingan dua bersaudara Sugriwa dan Subali (Kuntir dan Jobog) yang memperebutkan ajimat dari ayahnya.
Hal itu disebabkan karena ajimat itu dibuang ke danau ajaib, keduanya bertarung hingga masuk ke dalam danau. Tanpa disadari, keduanya beralih menjadi kera, dan pertempuran tidak ada hasilnya.
3. Legong Legod Bawa
Tari Legong Legod Bawa adalah salah satu jenis tari klasik yang tetap berpijak pada pakem Palegongan. Tarian ini dibawakan oleh dua orang penari wanita, tanpa adanya penari Condong sebagaimana yang terdapat pada Legong Keraton Lasem.
Unsur cerita bukanlah hal yang paling penting dalam tari Legong, karena cara pendramaannya cukup sederhana dan abstrak. Untuk menyampaikan maksud atau inti cerita kepada para penoton, diperlukanlah adanya peran seorang juru tandak.
Fungsi juru tandak inilah yang nantinya mentransfer cerita melalui nyanyian mengikuti irama musik pengiring tarian. Hal ini pun terjadi pada pementasan tari Legong Legod Bawa, dimana cerita yang diambil bersumber pada mitologi Hindu.
Demikianlah sejarah dan filosofi tari Legong yang sudah mengakar di Pulau Dewata. Tari Legong menjadi ciri khas dan khazanah bagi masyarakat Bali yang harus dilestarikan.