PPP Ingin Bangun Koalisi Partai Islam di Pemilu 2024
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ingin membentuk poros partai Islam pada gelaran Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang.
Ketua DPP PPP Achmad Baidowi mengatakan pihaknya berencana menggandeng Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Koalisi empat partai itu dinilai cukup untuk memenuhi ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang saat ini 20%-25%.
"Mudah-mudahan koalisi ini nantinya bisa menyodorkan dua atau tiga calon presiden dan wakil presiden," ujar pria yang akrab disapa Awiek ini, Kamis (16/12).
Menurut Awiek, saat ini yang paling penting adalah bagaimana poros Islam dapat memperoleh 20% kursi atau 25% suara dalam pemilihan umum (pemilu) nanti. Sementara itu, untuk figur yang diajukan nanti bisa mewakili kelompok nasionalis religius.
Dalam kesempatan yang sama Awiek juga menanggapi terkait kemungkinan bergabungnya Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil ke PPP. Awiek mengatakan pihaknya menghargai keinginan Ridwan, tetapi mempertanyakan langkah konkret Ridwan akan masuk partai mana.
"Peluang ada, tetapi apakah sudah merapat ke partai. Jangan-jangan cuma ngomong aja mau ke partai," ujar Awiek.
Sebelumnya Wakil Ketua Umum PPP, Arsul Sani mengusulkan agar Pilpres 2024 dapat menampilkan lebih dari dua paslon. Berdasarkan pengalaman pada Pilpres sebelumnya, jumlah paslon yang hanya dua mencerminkan politik identitas. Arsul menyebut pada Pilpres 2024, politik identitas tersebut naik secara tajam dan signifikan.
Lebih lanjut, Arsul mengatakan dengan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang saat ini minimal 20%, masih terbuka kemungkinan untuk mendapat setidaknya tiga paslon.
"Meskipun itu belum menjadi keputusan resmi, yang harus kita dorong itu tampilnya pasangan calon dalam pilpres yang tidak hanya dua, minimal tiga, ideal lagi lebih dari tiga," ujar Arsul dalam diskusi Refleksi Politik Kebangsaan Tahun 2021 di Kompleks Parlemen pada Rabu (15/12).
Arsul mengakui jumlah paslon yang banyak membuka kemungkinan Pilpres dilaksanakan dalam dua putaran ,sehingga memerlukan anggaran yang besar. Namun, menurut Arsul ongkos sosial yang diakibatkan dari ekspresi politik identitas lebih mahal nilainya daripada anggaran yang mesti digelontorkan untuk dua putaran Pilpres.
Arsul menyebut ongkos sosial akan mengakibatkan kekacauan yang tinggi dan dampaknya harus ditanggung lebih lama. Arsul mengatakan saat era kepemimpinan Tito Karnavian selaku Kapolri, untuk pengamanan dari kekacauan akibat ekspresi politik identitas menghabiskan anggaran lebih dari 70%.
Dana itu bahkan dihabiskan kurang dari kurun waktu enam bulan. Arsul menilai ongkos sosial tidak bisa dinilai dengan uang. Ekspresi politik identitas kemudian bisa saja dihadapi dengan keras seperti dengan proses hukum dan lain sebagainya.
"Apa iya itu benar meredam atau itu hanya menyimpan saja? Kemudian menimbulkan api dalam sekam. Kita semua khususnya para elit yang termasuk saya juga untuk memikirkan bahwa jangan karena kepentingan-kepentingan praktis kekuasaan dan kemudian kita tidak berhitung," ujar Arsul.