Tarif Naik, Pengguna KRL Minta Fasilitas Stasiun Diperbaiki
Mayoritas pengguna kereta listrik (KRL) atau commuter line menyetujui adanya kenaikan tarif. Namun, mereka meminta agar penyesuaian tarif harus dibarengi dengan peningkatan berbagai fasilitas di stasiun.
Sebagai informasi, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) merekomendasikan kenaikan tarif kereta rel KRL mulai berlaku pada 1 April 2022.
Berdasarkan hasil tiga studi analisis Kemampuan Dan Kemauan Membayar (ATP-WTP) disimpulkan, harga tiket KRL dapat naik ke kisaran Rp 5.000 untuk 25 kilometer (Km) pertama.
Dhio Faiz Syarahil mengatakan tidak keberatan dengan penyesuaian tarif yang paling cepat akan terjadi pada April 2022 ini.
Menurutnya, kenaikan tarif ini wajar lantaran beberapa stasiun sudah melalui proses modernisasi.
"Cuma, harus dibarengi sama peningkatan pelayanan. Wajib ini. Misalnya, kebersihan toilet, pengaturan antrean, kenyamanan tempat menunggu, dan fasilitas lainnya," kata Dhio kepada Katadata, Kamis (13/1).
Dhio merupakan pegawai swasta yang menggunakan KRL sebagai moda transportasi utama ke wilayah kerjanya di Jakarta Pusat dari Depok, Jawa Barat.
Setiap hari kerja, Dhio menggunakan kendaraan roda dua menuju stasiun dan melanjutkan perjalanan dengan KRL.
Saat pandemi, Dhio tidak selalu menggunakan KRL, khususnya saat penyebaran Covid-19 sedang naik. Akan tetapi, KRL masih menjadi moda transportasi utama saat keadaan mendukung.
Dhio berpendapat penyesuaian tarif ini masih di rentang yang wajar mengingat rute perjalanan yang dilaluinya tidak terlalu jauh.
Di sisi lain, Dhio meragukan penyesuaian tarif KRL ini dapat diterima oleh semua kalangan.
Cahya Arif Rediana mengaku keberatan dengan penyesuaian tarif ini. Walaupun hanya naik Rp 2.000 menjadi Rp 5.000, Cahya menilai naiknya tarif KRL akan berdampak pada manajemen keuangannya.
"Sebagai pekerja, kita melihat ini salah satu kebutuhan pokok dasar untuk transportasi. Dengan kondisi (fasilitas di stasiun yang masih) seadanya, adanya kenaikan itu cukup memberatkan sebagai pengguna yang wara-wiri menggunakan KRL," kata Cahya kepada Katadata.
Cahya adalah pekerja swasta yang setiap harinya berangkat dari Stasiun Tenjo, Bogor, Jawa Barat dan turun di Stasiun Palmerah, Jakarta.
Dia menggunakan kendaraan roda dua saat menuju Stasiun Tenjo dan melanjutkan perjalan ke tempat kerja dengan kendaraan umum lainnya dari Stasiun Palmerah.
Menurutnya, pembangunan fasilitas stasiun KRL saat ini hanya terpusat di perkotaan. Sementara itu, stasiun yang ada di pinggiran kota dinilai cenderung diabaikan.
Cahya menggambarkan peron Stasiun Tenjo yang masih belum dilakukan peremajaan. Menurutnya, peron di stasiun itu sudah tua dan cukup berbahaya saat menyeberang peron, khususnya saat hujan.
Selain itu, lalu lintas di sekitar stasiun cukup buruk. Kondisi itu diperburuk dengan bau tidak sedap akibat manajemen limbah yang buruk di pasar konvensional dekat stasiun.
"Dari pihak KAI pun tidak menyediakan tempat parkir. Itu yang memberatkan sebagai pengguna KRL, fasilitasnya tidak lengkap. Stasiun yang saya naiki (seagai titik awal berangkat kerja) masih stasiun model zaman dulu, belum yang diperbaiki," ucap Cahya.
Oleh karena itu, Cahya menilai penyesuaian tarif ini juga harus dibarengi dengan pengintegrasian dengan kendaraan umum lainnya yang lebih baik.
Dia mencontohkan bus-bus yang tidak berhenti pada halte dekat Stasiun Palmerah yang membuat pengguna kendaraan umum acap tidak bisa melanjutkan perjalanan dengan kendaraan umum.
Studi analisis Kemampuan Dan Kemauan Membayar (ATP-WTP) yang dilakukan YLKI menemukan KCI memiliki ruang untuk menaikkan tarif senilai Rp 2.000 pada 25 kilometer pertama menjadi Rp 5.000.
Implikasi dari penyesuaian tarif itu adalah terkikisnya jumlah penumpang KCI sebanyak 3%.
Namun demikian, sebanyak 95,5% penumpang KRL menyatakan akan tetap menggunakan KRL jika terjadi kenaikan tarif. Secara rinci, ATP hasil studi YLKI adalah Rp 5.156 untuk 25 kilometer pertama.
"Saya kita moda transportasi commuter line jadi moda transportasi yang dianggap paling murah, sehingga loyalitas pada commuter line sangat tinggi," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, dalam Diskusi Online dengan “Tema Pelayanan Baru dan Penyesuaian Tarif Commuter Line”, Rabu (12/1).
Berdasarkan data PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), nilai bantuan dana kewajiban layanan publik atau public service obligation (PSO) yang diberikan pemerintah mencapai Rp 1,99 triliun pada 2021 atau naik 28,3% dari realisasi 2020 senilai Rp 1,55 triliun.
Secara rinci, KCI membutuhkan dana hingga Rp 14.981 per orang untuk dapat mengoperasikan KRL. Dengan kata lain, PSO yang diberikan per penumpang adalah Rp 11.981 per orang dengan perhitungan tarif saat ini.
PT KAI Commuter mencatat, jumlah penumpang KRL Jabodetabek sepanjang 2021 sebanyak 123.125.911 orang dengan rata-rata 337.331 pengguna tiap harinya. Jumlah itu turun 19,6% dibandingkan pada 2020.