Jokowi Ramal RI Pimpin Perdagangan Karbon Dunia, Kalahkan Brasil
Pemerintah tengah mengimplementasikan mekanisme perdagangan karbon di Indonesia. Presiden Joko Widodo menilai RI berpotensi menjadi pemimpin perdagangan karbon dunia.
Bahkan, menurutnya Indonesia mampu mengalahkan potensi perdagangan karbon di Peru, Kenya, dan Brasil. Adapun, ketiga negara itu juga memiliki hutan tropis yang luas di dunia.
"Indonesia berpotensi menjadi global market leader dalam skema perdagangan karbon dunia," kata Jokowi dalam World Economic Forum yang dihadiri secara daring dari Istana Kepresidenan Bogor, Kamis (20/1).
Jokowi mengatakan pembentukan harga karbon di Tanah Air juga lebih kompetitif dibandingkan negara pionir perdagangan karbon lainnya seperti Brasil, Peru, dan India. Saat ini, Indonesia telah memiliki proyek percontohan, salah satunya Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).
Adapun, REDD+ merupakan mekanisme global yang memberikan kesempatan bagi negara berkembang yang memiliki wilayah hutan luas dan sedang menghadapi ancaman deforestasi.
Kepala Negara mengatakan, proyek REDD+ menggunakan skema research based payment, seperti green climate fund, forest carbon partnership facility, dan bio carbon fund. Adapun, total nilai komitmen mencapai US$ 273,8 juta.
Dalam kesempatan itu, Jokowi juga memastikan komitmen Indonesia mengembangkan mekanisme nilai ekonomi karbon. Guna mendukung penurunan emisi, pemerintah juga memberikan insentif bagi pihak swasta.
Selanjutnya, RI juga menyediakan penandaan anggaran mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (climate budget tagging). "Serta menerapkan pajak karbon dalam menangani perubahan iklim," ujar dia.
Sebelumnya, Jokowi telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK). Aturan ini mengatur penyelenggaraan perdagangan karbon, pungutan atas emisi karbon, pembayaran berbasis kinerja atas penrunan emisi karbon.
Direktur Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Dewanthi mengatakan beleid ini diharapkan bisa menggerakan lebih banyak pembiayaan dan investasi hijau yang berdampak pada pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK).
“Adanya regulasi pasar karbon dalam bentuk Perpres tentang NEK membuka peluang Indonesia untuk menerima pendanaan lebih luas dalam pengendalian perubahan iklim,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (17/11).