Kemenhub Beberkan Keuntungan RI dari Kesepakatan FIR dengan Singapura
Pendelegasian sebagian ruang kendali udara di atas wilayah Kepulauan Riau dan Natuna dalam kesepakatan Flight Information Region (FIR) yang diteken Indonesia dan Singapura pekan lalu masih menjadi polemik. Namun, Kementerian Perhubungan menegaskan kesepakatan ini mendatangkan keuntungan bagi Indonesia.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Novie Riyanto menyebut, ada tujuh manfaat dari pengambilalihan FIR Natuna. Salah satu manfaatnya adalah peningkatan potensi pendapatan negara dari Pelayanan Jasa Navigasi Penerbangan (PJNP).
"Ini menjadi pendapatan negara bukan pajak. (Wilayah udara di atas) Natuna dulunya tidak bertuan. Dengan penyesuaian ini, otomatis tuannya kita, yang kontrol kita, izinnya ke kita," kata Novie dalam webinar "Kupas Tuntas FIR Singapura", Kamis (3/1).
Novie menjelaskan, proses negosiasi pengambilalihan FIR Natuna telah berlangsung sejak 2018 dengan 40 pertemuan. Salah satu perdebatan yang alot adalah terkait pendelegasian ruang udara hingga ketinggian 37 ribu kaki.
Pemerintah dalam kesepakatan tersebut mendelegasikan area udara pada ketinggian 0-37.00 kaki kepada otoritas penerbangan Singapura. Berdasarkan data PT AirNav Indonesia, FIR di Natuna yang didelegasikan ke Singapura dalam kesepakatan tersebut hanya mencapai 16% dari total volume.
Meski demikian, total penerbangan yang keluar dan masuk bandara Changi atau dengan ketinggian di bawah 37 ribu kaki pada Desember 2021 mencapai 2.300 pesawat atau 44,95% dari total penerbangan FIR di Natuna sebanyak 5.116 pesawat. Sementara pesawat yang melintas Singapura mencapai 810 pesawat.
Novie menjelaskan pertimbangan keputusan pendelegasian tersebut adalah lantaran semua pesawat yang masuk ke Singapura berada dalam ketinggian itu. Tanpa pendelegasian dari Indonesia, seluruh personel dalam menara pengendali lalu lintas udara (ATC) di Singapura harus dikendalikan dan ditempati seluruh orang Indonesia.
Menurut dia, penggantian seluruh personil ATC dengan orang Indonesia akan menyulitkan secara teknis. Hal itu pula yang mengatur kenapa delegasi harus dilakukan hingga 25 tahun.
Meski demikian, Novie berujar sumber daya manusia (SDM) dan peralatan yang dimiliki petugas ATC di dalam negeri sebenarnya tidak kalah dari Singapura. Pasalnya, titik puncak lalu lintas di dalam negeri lebih tinggi dari di SIngapura.
Novie mencatat, Bandara Soekarno-Hatta dapat melayani hingga 80 unit pesawat per jam sebelum pandemi Covid-19. Sementara itu, lalu lintas pesawat di Bandara Changi maksimum hanya mencapai 60 pesawat per jam.
Ia pun berharap kontrol FIR Natuna dapat sepenuhnya dikelola AirNav pada 2032 atau selambatnya 2042. Hal itu dengan asumsi Singapura tidak lagi membutuhkan pengoperasian ATC di Bandara Changi.
"Itu (pengambilalihan kontrol FIR Natuna secara penuh) ke depan, akan menjadi blueprint yang sangat strategis," kata Novie.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Operasional Airnav Mokhamad Khatim mengatakan sampai saat ini masih banyak lalu lintas pesawat di wilayah udara sekitar Bandara Changi. Khatim menilai salah satu keuntungan dari pengambilalihan FIR di Natuna adalah kemudahan teknis dalam penerbangan.
Khatim menjelaskan maskapai harus mendapatkan persetujuan diplomatik, penerbangan, dan rute penerbangan saat maskapai domestik melalui wilayah Natuna sebelum pengambilalihan. Kini, proses itu ditiadakan dan memudahkan maskapai dan pengawas dalam melaksanakan tugasnya.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana masih mempertanyakan memo kesepahaman (MoU) terkait pendelegasian FIR di Natuna dengan ketinggian ke bawah 37 ribu kaki. Menurutnya, ada potensi tekanan dari oknum pejabat untuk mempercepat negosiasi FIR.
Secara historis, menurut dia, negosiasi FIR pernah dilakukan dan rampung pada 1995. Pemerintah Indonesia pada saat itu bahkan telah meratifikasi pengambilalihan FIR di Natuna, tetapi gagal saat Malaysia menolak kesepakatan antara Indonesia dan Singapura.
Ia mengatakan pasal 458 Undang-Undang (UU) No.1-2009 tentang Penerbangan menyatakan wilayah udara menyebutkan bahwa pendelegasian harus dievaluasi selambatnya 15 tahun sekali. Dengan kata lain, menurut Hikmahanto, FIR di Natuna yang selama ini dikontrol Singapura seharusnya diambil alih sebelum 2024.
Selain itu, Hikmahanto mengatakan, peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 55-2016 tentang Tatanan Navigasi Penerbangan Nasional menyatakan FIR di Natuna harus diambil secara penuh pada 2019. Ia menilai penyelesaian FIR di Natuna telah melewati tenggat waktu itu.
Hikmahanto pun menduga otoritas penerbangan Singapura memiliki kepercayaan rendah pada kompetensi keamanan otoritas penerbangan nasional.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Padjadjaran (Unpad) Atip Latipulhayat mempertanyakan perbedaan definisi antara pengelolaan dan pelayanan wilayah udara. Atip menilai negosiator Kemenhub mendefinisikan kedaulatan wilayah udara dalam arti sempit, yakni hanya sebagai pengelolaan wilayah udara.
Ia mempertanyakan keputusan pemerintah untuk mendelegasikan pengelolaan sebagian FIR di Natuna kepada Singapura. Atip menilai pemerintah belum berhasil menjelaskan pertimbangan maupun tujuan atas keputusan itu. "Jadi, menurut saya ini sejarah tanpa perubahan," kata Atip.