UU IKN Hadapi Gugatan Uji Formil di MK, Mirip UU Cipta Kerja
Belum sebulan Undang-Undang Ibu Kota Negara atau UU IKN disahkan, gugatan uji formil atas payung hukum pemindahan ibu kota tersebut dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan ini diajukan oleh Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) yang terdiri dari beberapa purnawirawan TNI hingga eks penasihat KPK.
"Para memohon meminta kepada MK untuk menyatakan UU IKN tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945," kata Victor Santoso selaku salah satu kuasa hukum penggugat dalam keterangan tertulis dikutip pada Kamis (3/2).
Gugatan uji formil ini mempersoalkan proses pembentukan undang-undang. Berbeda dengan uji materiil dengan objek pengujian adalah materi muatan undang-undang.
Gugatan uji formil pernah diajukan dalam UU Cipta Kerja. MK memutuskan UU Cipta Kerja sebagai inskonstitusional bersyarat karena dianggap prosedur pembahasannya tak melibatkan partisipasi publik.
Victor menyebut terdapat lima poin yang mendasari gugatan uji formil dalam UU IKN. Pertama, pembentukan UU IKN tidak melalui perencanaan yang berkesinambungan.
Penggugat menilai rencana IKN tidak pernah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007, dan tidak tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015 – 2019.
IKN mendadak muncul baru dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024. Namun meskipun demikian, anggaran IKN tidak pernah ditemukan dalam Undang-Undang Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, 2021, dan 2022.
Kedua, pembentukan UU IKN dianggap tidak memperhatikan materi muatan. Materi yang berkaitan dengan IKN diatur dalam Peraturan Pelaksana.
Dari 44 pasal UU IKN, terdapat 13 perintah pendelegasian kewenangan pengaturan dalam peraturan pelaksana. "UU IKN tidak secara detail mengatur mengenai administrasi pemerintahan IKN dan UU IKN masih sangat bersifat makro dalam mengatur hal-hal tentang IKN," kata Victor.
Ketiga, pembentukan UU IKN tidak memperhitungkan filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Karena urusan ibu kota negara ada dalam UUD NRI Tahun 1945, maka setiap kebijakan yang berkaitan dengan IKN mestinya dirumuskan secara komprehensif dan holistik. "Kebijakan pemindahan IKN tidak mempertimbangkan aspek sosiologis kondisi nasional dan global yang tengah menghadapi pandemi Covid-19, yang dari waktu ke waktu trennya masih cukup tinggi," ujar Victor.
Keempat, UU IKN tidak dibuat karena benar-benar dibutuhkan. Berdasarkan hasil survei dari Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai Kopi), 19 Desember 2021, sebanyak 61,9% Orang Tidak Setuju Ibu Kota Pindah.
Ada 35,3% responden yang tidak setuju yang menjawab hal tersebut. Sementara itu, 18,4% menganggap lokasi yang dipilih kurang strategis dan 10,1% responden menilai fasilitas Jakarta sudah memadai.
Kemudian, 5,6% responden mengkhawatirkan utang yang akan bertambah jika pemindahan ibu kota benar terjadi. Selain itu, 4,7% responden merasa pemindahan ibu kota dapat mengubah sejarah atau nilai historis.
Kelima, pembentukan UU IKN minim partisipasi masyarakat. Dari 28 tahapan/agenda pembahasan RUU IKN di DPR, hanya ada 7 (tujuh) agenda yang dokumen dan informasinya dapat diakses.
Sedangkan 21 agenda lainnya informasi dan dokumennya tidak dapat diakses publik. Pembentukan UU IKN yang dibahas sejak 03 November 2021 s/d 18 Januari 2022 hanya memakan waktu 42 hari. "Tahapan ini tergolong sangat cepat untuk pembahasan sebuah RUU yang berkaitan dengan IKN yang sangat strategis dan berdampak luas," kata dia.
Gugatan ini didaftarkan secara online ke MK pada 2 Februari 2022 lalu dengan nomor perkara 15/PUU/PAN.MK/AP3/02/2022. Pemohon terdiri dari 12 orang, dua di antaranya merupakan purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI), yakni Letjen TNI Mar (Purn) Suharto dan Mayjen TNI (Purn) Soenarko.
Selain dua purnawirawan, terdapat perwakilan yang berprofesi mulai dari dosen, guru, wiraswasta, hingga karyawan swasta. Salah satunya eks penasihat KPK Abdullah Hehamahua yang sekarang berprofesi sebagai dosen.