Kejaksaan Akan Menyidik Dugaan Korupsi Blast Furnace Krakatau Steel
Kejaksaan Agung menemukan bukti permulaan dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan pabrik Blast Furnace PT Krakatau Steel Tbk ke tahap penyidikan. Dalam waktu dekat, kejaksaan akan menaikkan kasus ke tahap penyidikan.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan kasus tersebut diselidiki Tim Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) sejak 29 Oktober 2021 lalu. “Terdapat indikasi peristiwa pidana tersebut dapat menimbulkan kerugian keuangan negara,” ujar Burhanuddin dalam konferensi pers yang ditayangkan secara virtual pada Kamis (24/2).
Burhanuddin menjelaskan kasus ini terjadi pada kurun 2011 hingga 2019. Krakatau Steel ketika itu tengah membangun pabrik Blast Furnace (BFC) dengan menggunakan bahan bakar batu bara. Alasannya biaya produksi dengan bahan bakar batu bara lebih murah ketimbang menggunakan bahan bakar gas.
Proses pembangunan pabrik Blast Furnace (BFC) dilaksanakan oleh Konsorsium MCC CERI dan PT Krakatau Engineering sesuai hasil lelang tanggal 31 Maret 2011. Adapun nilai kontrak dari konsorsium tersebut setelah mengalami perubahan mencapai Rp 6,9 triliun dan telah dilakukan pembayaran sebesar Rp 5,3 triliun.
Namun, proyek tersebut dihentikan pada 19 Desember 2019. "Padahal proyek tersebut belum rampung 100% atau bisa dikatakan mangkrak," kata Burhanuddin.
Hingga saat ini proyek tersebut belum juga diserahterimakan dengan kondisi tidak dapat beroperasi lagi. Setelah dilakukan uji coba operasi ternyata biaya produksi jauh lebih besar ketimbang harga baja di pasaran.
Pada 2017, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merilis hasil audit terhadap Krakatau Steel, di mana salah satu persoalan yang disorot terkait Blast Furnace. Dalam audit tersebut, BPK menyebut perencanaan proyek BFC tidak memadai. Perubahan HPS dari US$ 255 juta menjadi US$ 529 juta tidak dihitung secara keahlian.
“HPS revisi tersebut tidak dapat digunakan sebagai alat untuk menilai kewajaran harga penawaran bidder,” tulis BPK dalam dokumen audit yang diperoleh Katadata.
BPK juga menyebut proyek BFC tidak layak investasi sejak awal. Pasalnya, berdasarkan sensitivity analysis terhadap studi kelayakan, nilai Net Present Value (NPV) proyek hasilnya negatif.
NPV merupakan merupakan metode menghitung kelayakan investasi dengan membandingkan selisih antara nilai arus kas yang masuk dengan yang keluar dalam periode waktu tertentu. Jika NPV lebih dari 0 atau positif, artinya penerimaan lebih besar dari nilai investasinya dan begitu pula sebaliknya.
Proyek BFC juga mengalami keterlambatan saat pengerjaannya. Dalam kontrak awal, first blow-in (produksi pertama) dijadwalkan pada Desember 2016. Namun dalam dokumen pelaksanaan, jadwal ini berubah menjadi Juli 2017.
Persoalan keuangan ikut memperburuk pelaksanaan proyek BFC. Sebagian konstruksi BFC seharusnya dikerjakan oleh PT Krakatau Engineering. Namun, keuangan KE kala itu sedang terpuruk. Pada 2016, KE membukukan kerugian hingga Rp 571 miliar, di mana Rp 478 miliar di antarnya berasal dari proyek BFC.
Krakatau Steel sebagai induk usaha akhirnya memberikan bridging loan pada Desember 2016 senilai Rp 683 miliar. Pinjaman ini awalnya tidak boleh digunakan untuk kebutuhan letter of credit (LC) atau Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN). Namun, pinjaman ini justru dipakai untuk keperluan tersebut sehingga berdampak ada penyelesaian konstruksi. “PT KE tidak mempunyai pengalaman dalam pembuatan BFC,” tulis BPK
Sementara itu, kondisi keuangan KRAS juga membuat perusahaan harus mengandalkan pinjaman bunga tinggi untuk membiayai proyek konstruksi. Proyek BFC awalnya akan dibiayai menggunakan Export Credit Agency (ECA) Facility dengan tingkat bunga 6 bulan LIBOR+Margin 3.8%. Namun karena sedang kesulitan keuangan, KS tidak bisa mencairkan pendanaan tersebut. Manajemen KRAS akhirnya berpaling ke local commercial loan dengan bunga 5,75%.
Molornya pengerjaan proyek akhirnya menimbulkan pembengkakan biaya hingga US$ 8,4 juta. Selain itu, BPK juga menyebut potensi penghematan yang dikejar lewat pembangunan BFC juga tidak terpenuhi. Nilai yang hilang ini mencapai US$ 95 juta.
Dengan segudang permasalahan tersebut, pelaksanaan pembangunan BFC akhirnya kembali molor. Produksi pertama yang sedianya dijadwalkan pada Juli 2017 molor hingga dua tahun. BFC baru bisa beroperasi pada 11 Juli 2019 dengan menghabiskan dana US$ 850 juta atau sekitar Rp 12 triliun. Namun, baru enam bulan beroperasi, fasilitas ini kembali ditutup pada 14 Desember 2019. Setelah itu, proyek triliunan rupiah itu mangkrak begitu saja.
"Memberikan sanksi sesuai ketentuan perusahaan kepada Tim Penyusun HPS proyek BFC atas penyusunan HPS yang tidak melalui proses analisa," tulis BPK dalam rekomendasinya.
Dirut Krakatau Steel Silmy Karim mengatakan harga baja slab yang diproduksi di BFC jauh lebih mahal dari harga pasar. Slab KS dibanderol US$ 742 per ton, sedangkan di pasar harganya cuma US$ 476 per ton. Mengoperasikan BFC dinilai akan menjadi bumerang bagi perusahaan karena membutuhkan modal kerja hingga US$ 2,5 miliar.
“Kami menghitung antara produk yang dihasilkan dengan harga jual tidak cocok hitungannya, atau dengan kata lain rugi," kata Silmy.