Vonis Edhy Prabowo Dikurangi, KPK Minta MA Pertimbangkan Rasa Keadilan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan respons terhadap keputusan Mahkamah Agung (MA) yang memberikan hukuman pidana penjara selama lima tahun kepada mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo pada tingkat kasasi.
Hukuman ini lebih ringan dari vonis majelis hakim tingkat banding pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, yang manjatuhkan pidana 9 tahun penjara karena Edhy Prabowo terbukti melakukan korupsi.
"Putusan majelis hakim seyogianya juga mempertimbangkan hakikat pemberantasan korupsi sebagai extraordinary crime," kata Plt. Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, seperti dikutip dari Antara Kamis (10/3).
Ali Fikri mengatakan pemberantasan korupsi butuh komitmen kuat dari seluruh elemen masyarakat, terutama para penegak hukum. Hal ini dilakukan dengan menganggapnya sebagai musuh bersama dan kejahatan luar biasa, sehingga pemberantasannya pun perlu dilakukan dengan cara yang luar biasa.
Salah satunya, melalui putusan hukum yang mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat, dan mampu memberi efek jera untuk mencegah perbuatan serupa terulang."Karena pemberian efek jera merupakan salah satu esensi penegakan hukum tindak pidana korupsi yang bisa berupa besarnya putusan pidana pokok atau badan, serta pidana tambahan seperti uang pengganti ataupun pencabutan hak politik," jelas Ali.
Kendati demikian, KPK tetap menghormati putusan kasasi MA terhadap Edhy Prabowo, sambil menunggu salinan berkas putusan diserahkan ke pihaknya untuk dipelajari lebih lanjut.
Pada kesempatan terpisah, Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Bidang Yudisial Andi Samsan Nganro, menjelaskan mengenai perubahan vonis yang terjadi. Ia mengatakan Majelis Hakim Kasasi menilai dalam putusan pengadilan di tingkat pertama dan banding, kurang mempertimbangkan keadaan yang meringankan terdakwa Edhy Prabowo. “Ada keadaan yang meringankan terdakwa, namun pengadilan judex facti tidak mempertimbangkan,” kata Andi dalam konferensi pers yang diselenggarakan di MA, Jakarta, Kamis (10/3), seperti dikutip Antara.
Menurut Majelis Hakim Kasasi, faktor yang meringankan terdakwa adalah kinerja baik Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, yang telah memberikan harapan besar kepada masyarakat, khususnya bagi nelayan. Hal ini terkait dengan pencabutan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/PERMEN-KP/2016 tertanggal 23 Desember 2016, dan menggantinya dengan Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 12/PERMEN-KP/2020, sehingga mensyaratkan pengekspor mendapat benih bening lobster (BBL) dari nelayan kecil penangkap BBL
“Dengan tujuan, yaitu adanya semangat untuk memanfaatkan benih lobster guna kesejahteraan masyarakat, yaitu ingin memberdayakan nelayan karena lobster di Indonesia sangat besar,” kata Andi.
Sebelumnya, MA memperbaiki putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengenai pidana yang dilakukan terdakwa Edhy Prabowo dan lamanya pidana tambahan.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Edhy Prabowo dengan penjara selama 5 tahun dengan pidana denda sebesar Rp400 juta dengan ketentuan bila denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan," kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro di Jakarta, Rabu (9/3).
Selain itu, hakim agung juga memberikan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama dua tahun, terhitung sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok.
Putusan kasasi tersebut diputuskan pada 7 Maret 2022, oleh majelis kasasi yang terdiri atas Sofyan Sitompul selaku ketua majelis, Gazalba Saleh dan Sinintha Yuliansih Sibarani masing-masing selaku anggota.
Terdapat sejumlah hal yang menjadi pertimbangan majelis kasasi sehingga mengurangi vonis Edhy Prabowo tersebut.
"Bahwa putusan Pengadilan Tinggi yang mengubah putusan Pengadilan Negeri kurang mempertimbangkan keadaan yang meringankan terdakwa sehingga perlu diperbaiki dengan alasan bahwa pada faktanya terdakwa sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan RI sudah bekerja dengan baik dan telah memberi harapan yang besar kepada masyarakat, khususnya nelayan," demikian disebutkan hakim.
Vonis yang diberikan di tingkat kasasi ini sejatinya sesuai dengan tuntutan KPK terhadap Edhy Prabowo. Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut Edhy Prabowo divonis lima tahun penjara ditambah denda Rp 400 juta subsider enam bulan kurungan.
Selain itu, kewajiban membayar uang pengganti Rp9,7 miliar dan US$ 77 ribu. Kemudian, pencabutan untuk dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun sejak selesai menjalani hukuman.
Kemudian, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 15 Juli 2021 menjatuhkan vonis sesuai tuntutan, yaitu lima tahun penjara, ditambah denda Rp 400 juta subisider enam bulan kurungan. Selain itu, kewajiban membayar uang pengganti dan pencabutan hak dipilih selama dua tahun.
Namun pada 21 Oktober 2021, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonis Edhy Prabowo menjadi sembilan tahun penjara ditambah denda Rp 400 juta subsider enam bulan kurungan.
Edhy Prabowo juga diminta membayar uang pengganti Rp9,7 miliar dan US$ 77 ribu. Kemudian, pencabutan untuk dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun. Atas putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut, Edhy Prabowo mengajukan kasasi pada 18 Januari 2022. Dalam perkara ini, Edhy Prabowo terbukti menerima suap US$ 77 ribu dan Rp24,6 miliar dari pengusaha terkait ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur.