MPR Bantah Amendemen Kelima UUD 1945 untuk Tunda Pemilu
Wacana penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 maupun maupun perpanjangan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Polemik pun bergulir tak hanya mencakup pro dan kontra terhadap wacana itu, tetapi juga bagaimana membuat proses tersebut dapat berjalan sesuai koridor hukum.
Aturan mengenai masa jabatan presiden saat ini diatur dalam konsitusi, sehingga rencana melakukan amandemen kelima Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pun ditengarai menjadi pintu masuk untuk memuluskan wacana tersebut.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid menjelaskan, MPR saat ini hanya fokus mengerjakan kajian terkait Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) untuk dimasukan dalam amandemen kelima. Meski begitu, Jazilul menyebut respons terhadap PPHN untuk dijadikan materi perubahan amandemen saat ini tidak tterlalu kuat.
"Ketika amendemen mutlak dibutuhkan kehendak rakyat. Kalau tidak ada kehendak kuat, itu tidak mungkin dilaksanakan oleh parpol (partai politik)," ujar Jazilul dalam diskusi di Kompleks Parlemen pada Selasa (15/3).
Ia juga menjelaskan, bahwa hingga saat ini, belum ada satu pun fraksi di MPR yang mengusulkan amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 demi memuluskan wacana perpanjangan masa jabatan presiden, atau penundaan Pemilu.
Jazilul mengatakan penundaan Pemilu hanya dapat dilakukan melalui mekanisme tata negara atau konstitusi, sehingga diperlukan diskusi lebih lanjut, sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan langkah terkait wacana penundaan Pemilu.
Menurut Jazilul, selain perubahan pada konstitusi, tak ada lembaga lain yang dapat membuat keputusan untuk menunda Pemilu. Bahkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga penyelenggara Pemliu. Hal ini lantaran KPU-Bawaslu dalam kerjanya mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Bukan lewat Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) atau usulan KPU. Di situ tidak ada jelas disebutkan kalau terjadi kedaruratan nasional atau sebagian daerah tidak bisa melaksanakan, KPU bisa mengusul penundaan," jelas Jazilul.
Dalam wacana penundaan Pemilu, seringkali dinamika politik dapat terjadi dengan cepat. Meski saat ini terlihat banyak partai politik yang menolak usulan dari Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar tersebut, bukan berarti wacana penundaan Pemilu akan ditolak selamanya.
"Jangan-jangan yang sekarang mengatakan tidak setuju, kalau ini digulirkan pada tahap pengambilan keputusan, resminya (menyatakan) setuju. Jadi kita tunggu saja," ujar Jazilul.
MPR memang tengah berupaya merampungkan kajian amendemen kelima, agar dapat dibawa kepada para Ketua Umum Partai Politik untuk mengambil keputusan. Ketua MPR Bambang Soesatyo, sebelumnya mengatakan berharap agar Badan Pengkajian MPR dan Komisi Kajian Konstitusi (K3) segera merampungkan hasil kajian tersebut.
Lebih lanjut, Bamsoet mengatakan, jika PPHN dibuat melalui Ketetapan (Tap) MPR maka harus melalui amendemen. PPHN, disebut Bamsoet, hanya mengubah atau menambah 2 ayat pada masing-masing Pasal 3 dan Pasal 23.
Bamsoet mengatakan MPR berencana untuk membuka luas hasil kajian kepada berbagai kelompok masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya ke MPR. Hal ini terkait dengan amandemen UUD 1945 maupun terkait dengan pelaksanaan dari UUD 1945 yang sedang berjalan hari ini.
Sejauh ini terdapat tiga partai politik yang menghendaki agar PPHN dibuat melalui UU. Tiga partai tersebut adalah Golkar, Demokrat dan PKS.