Pentingnya Kebijakan Setara-Inklusif Yg Transformatif dan Partisipatif
Jakarta (23/03) – Keberpihakan atas kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial atau yang sering disebut GEDSI (Gender Equality, Disability and Social Inclusion) berpedoman pada upaya untuk memastikan warga negara dari berbagai latar belakang, termasuk penyandang disabilitas, perempuan dan orang-orang yang memiliki ragam gender, serta kaum rentan lainnya, dapat mengakses, menggunakan, berkontribusi, mempengaruhi kebijakan dan secara adil mendapatkan manfaat dari proses penyusunan, tata kelola dan implementasi kebijakan.
Hal ini penting untuk menjadi advokasi bersama karena baik dalam proses penyusunan maupun implementasinya, kemungkinan tidak dapat lepas dari bias yang ada dan praktik diskriminatif. Penggunaan lensa GEDSI dalam penyusunan maupun implementasi kebijakan berguna untuk memitigasi ekslusi sosial, stigmatisasi, diskriminasi dan marginalisasi terhadap kaum rentan.
Untuk membahas lebih lanjut mengenai tantangan terkait isu gender, disabilitas, hubungan kekuasaan yang tidak setara, serta struktur dan praktik yang diskriminatif, Knowledge Sector Initiative (KSI) menyelenggarakan webinar berkonsep Ruang Bincang dengan tema “Mendorong Kebijakan Setara-Inklusif yang Transformatif dan Partisipatif”. Rekomendasi kebijakan berbasis riset juga akan didiskusikan oleh para panelis dan penanggap untuk mendorong bagaimana keberpihakan atas GEDSI dapat mewujudkan kebijakan yang lebih infklusif dan tepat sasaran, serta bagaimana implementasi kebijakan memastikan “tidak meninggalkan satu orangpun” (“Leave No One Behind”) dalam pembangunan di Indonesia.
Webinar ini merupakan Ruang Bincang ke-lima dari rangkaian Konferensi Knowledge-to-Policy (K2P) yang merupakan salah satu rangkaian kegiatan penutupan KSI untuk menampilkan produk pengetahuan dan pencapaian mitra KSI. Konferensi K2P menghadirkan 9 sesi Ruang Bincang dan 6 sesi Titik Temu dengan 86 pembicara dan penanggap. Konferensi ini menjadi wadah pertemuan dan pertukaran diskusi untuk menekankan pentingnya integrasi pengetahuan ke kebijakan untuk menghasilkan kebijakan yang tepat sasaran serta pentingnya lembaga think tank sebagai aktor dalam proses penyusunan kebijakan yang lebih inklusif dan berbasis riset di Indonesia.
Hadir sebagai penanggap, Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas, Kementerian Sosial, Eva Rahmi Kasim, yang menanggapi rekomendasi kebijakan dari pembicara serta memaparkan keberpihakan terhadap perempuan, penyandang disabilitas dan kaum rentan lainnya dalam ragam regulasi birokrasi internal pemerintah.
“Diperlukan pendekatan twin-track, yang menggabungkan tindakan spesifik pada pemberdayaan dan pengarus-utamaan disabilitas dalam penyusunan dan implementasi kebijakan. Perencaanaan yang inklusif disabilitas dapat dilakukan dengan adanya analisa disabilitas, yang didukung data terpilah dan menjadi bagian dari mekanisme sistem perencanaaan dan penganggaran” kata Eva.
Lebih lanjut, Technical Lead, Capacity Development and Sustainability, Australia-Indonesia Partnership Towards an Inclusive Society (AIPTIS), Abdi Suryaningati, menjelaskan peluang kerja sama strategis dalam mendorong transformasi kebijakan setara dan inklusif terhadap GEDSI pada berbagai lini sektor di antara Indonesia dan Australia.
“Dalam proses mendorong transformasi kebijakan, perlu dilakukan penguatan ogranisasi masyarakat sipil (OMS) serta seluruh elemen masyarakat dalam mengupayakan perubahan sistemik di tingkat yang lebih luas. Perubahan ini diperlukan untuk merawat dan mengembangkan kembali perspektif kesetaraan“. kata Abdi.
Sementara itu, akademisi dan peneliti University of Melbourne, Rachael Diprose, menyoroti tentang temuan dalam riset mengenai Aksi Kolektif Perempuan dan Undang-Undang (UU) Desa, terutama tentang bagaimana pengaruh aksi kolektif perempuan memengaruhi implementasi UU Desa serta peran OMS dalam menjalankan proses tersebut.
“Temuan riset kami mengidentifikasi berbagai cara OMS memastikan inklusi dan pemberdayaan gender. Melalui peningkatan keterampilan, pengorganisasian dan berjejaring, perempuan saling memberikan dukungan dalam mengatasi hambatan inklusi gender di wilayahnya, serta menjadi ‘perantara pemberdayaan’ dalam menghubungkan kelompok perempuan dengan ruang pengambilan kebijakan maupun aktor berpengaruh”. kata Rachael.
Sebelumnya, peneliti Cakra Wikara Indonesia (CWI), Mia Novitasari, memaparkan penerapan meritokrasi dalam UU Aparatur Sipil Negara (ASN) menyisakan ketimpangan pada Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Kementerian.
“Kementerian perlu melakukan Inovasi kebijakan atau program yang mengakomodasi pemenuhan tanggung jawab domestik di lingkungan kerja, termasuk mendorong penerapan flexible working arrangement (FWA), mendorong pemimpin pada jabatan tinggi untuk memiliki perspektif kesetaraan, serta adanya data terpilah gender untuk mendorong anggaran dan agenda kebijakan responsif gender”. Katanya.
Sementara itu, Koordinator Penelitian, PUI-PT Pusat Penelitian HIV AIDS PUK2IS UAJ, Theresia Arum, menjelaskan kondisi terkini dari pelibatan kelompok terdampak HIV dalam konteks implementasi kebijakan mengenai program penanggulangan HIV. Pemberdayaan kelompok marginal membutuhkan proses yang panjang dan pelibatan serta advokasi kepada pemangku kepentingan terkait secara terus menerus.
Dari sisi proses pembentukan UU, Direktur Advokasi dan Jaringan, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Fajri Nursyamsi, menjelaskan peran kelompok disabilitas dalam memberi masukan, baik terlibat secara langsung atau melalui media yang aksesibel pada proses pembentukan undang-undang. Perspektif pembentuk kebijakan masih menempatkan isu disabilitas sebagai isu kesejahteraan sosial dan belum memosisikannya sebagai isu hak asasi manusia yang bersifat multisector. Hal ini menggarisbawahi pentingnya peningkatan pemahaman dan perspektif disabilitas bagi setiap pihak yang terkait dengan proses legislasi.
Lebih lanjut, Peneliti dan Manajer Program, PUSAD Paramadina, Husni Mubarok, memaparkan strategi yang diperlukan baik bagi pengambil kebijakan, pemuka agama, maupun masyarakat umum dalam mendorong partisipasi aktif setiap kelompok masyarakat terutama penganut kepercayaan/agama minoritas untuk dapat memelihara kohesi hubungan umat beragama secara berkelanjutan.
Dia menjelaskan bahwa Forum Kerukunan Umat Beragama perlu memberikan ruang dan proporsi representasi kaum minoritas di kepengurusan. Penguatan kapasitas juga diperlukan dalam mengelola kerukunan dalam perspektif kesetaraan gender, disabilitas dan inklusi social (GEDSI) dan interseksinya.
Dalam mendukung aspek GEDSI, webinar kali ini menyoroti pentingnya kolaborasi di berbagai sektor dan lintas kementerian. Tidak hanya aspek penguatan regulasi maupun perubahan kebijakan, namun peningkatan kapasitas dari kelompok rentan dalam mengadvokasi haknya juga diperlukan. Selain itu, perluasan jejaring antar kelompok rentan, mendorong perubahan paradigma pengambil kebijakan mengenai pendekatan GEDSI dan interseksinya, penguatan OMS dalam proses advokasi kepada pembuat kebijakan dan aktor berpengaruh diperlukan dalam mewujudkan keberagaman yang sarat dengan pemenuhan hak dan kesetaraan.