PPATK Nilai Pajak Karbon Berpotensi Bikin Kebocoran Penerimaan Negara
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebut penerapan pajak karbon yang masif di Indonesia berpotensi menimbulkan kebocoran pada penerimaan negara. Sumber kebocoran itu berasal dari pajak karbon yang teridentifikasi dilakukan oknum serta pelaku usaha.
"Tax evasion, tax fraud, korupsi, serta pencucian uang, teridentifikasi sebagai tindak pidana yang terkait dengan pajak karbon," kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana saat membuka PPATK 3rd Legal Forum secara virtual, Kamis (31/3).
Pengenaan pajak karbon diatur dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Di
sisi lain, pemerintah berencana memberlakukan pajak karbon mulai Juli 2022 yang mendasarkan pada batas emisi (cap and tax).
Ancaman korupsi pada pajak karbon berpotensi terjadi pada semua tahapan, mulai dari pengembangan kebijakan sampai dengan implementasi terhadap pajak karbon, sehingga berdampak pada kerugian negara.
Menurutnya, sesuai dengan kesimpulan pada penelitian Anti-corruption Resource Center 2021, korupsi pada pajak karbon dapat menurunkan efektivitas pajak karbon kepada pelaku usaha, sehingga membuat target karbon net sink yang dicanangkan pemerintah menjadi tidak terwujud.
Selain itu, berdasarkan dari hasil penilaian risiko nasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan terorisme pada 2021, korupsi disebut menjadi salah satu tindak pidana yang memiliki risiko tinggi diikuti dengan tindak pidana bidang perpajakan.
Untuk mengatasi ini, PPATK melihat perlu ada tindakan dari rezim Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APUPPT)
untuk mengawal pelaksanaan pajak karbon yang akuntabel, transparan, dan berintegritas.
Sebab rezim APUPPT telah dibangun sejak dua dekade lalu melalui penerapan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2022 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 2023 yang kemudian diamandemen melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.
Penerapan undang-undang ini, menurut Ivan, dapat mengganggu aktivitas pencucian uang yang berasal dari tindak pidana bidang perpajakan dan korupsi, termasuk tindak pidana pajak karbon.
Pemberlakuan pajak karbon yang berintegritas juga dapat mendukung program pemerintah dalam percepatan pengembangan energi terbarukan untuk mendukung komitmen pemerintah dalam implementasi sustainable development goals di Indonesia.
Ivan yakin, disrupsi terhadap pencucian uang melalui gerakan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme di Indonesia dapat berjalan secara maksimal jika dibangun sinergi antara sektor publik dan sektor privat.
"Ini dapat menjadi succes story bersama antara sektor publik dan sektor privat dalam melakukan penyelamatan aset recovery," jelas Ivan.
Kewajiban pelaporan ke PPATK juga dapat membantu tugas lembaga ini dalam melakukan pemantauan terhadap transaksi keuangan yang terindikasi adanya kebocoran penerimaan negara atas pajak karbon.