Aturan Hak Penerbit Dibutuhkan untuk Dorong Kemandirian Media Digital
Transformasi media massa konvensional ke arah digital menghadirkan berbagai platform yang menawarkan beragam kecanggihan. Namun di sisi lain, keberadaan platform tersebut dinilai bersifat disruptif, atau menganggu gaya hidup media konvensional.
Ketua Komisi Hubungan Antarlembaga dan International Dewan Pers, Agus Sudibyo, dalam bukunya berjudul "Dialektika Digital" melihat ada hubungan kompleks antara industri media dengan platform digital, sehingga menggunakan istilah frenemy untuk menggambarkan relasi ini. Kata ini berasal dari gabungan dari friend (teman) dan enemy (lawan).
Sebab Agus merasa transformasi digital sebagai sebuah keniscayaan, sehingga media massa juga perlu membangun kemandirian relatif terhadap platform digital, baik secara teknologi, bisnis, maupun dari sisi jurnalistik. Kemandirian relatif diperlukan agar tercipta sinergi, tetapi tidak membuat media terlalu bergantung kepada platform digital.
Untuk mendukung terwujudnya kemandirian relatif ini juga membutuhkan dukungan dari sisi kebijakan. Dukungan kebijakan ini dapat berupa publisher right atau hak penerbit, undang-undang perlindungan data pribadi, serta social media law.
“Itu adalah unsur-unsur regulasi di mana negara hadir untuk menyehatkan ekosistem media, dan untuk menjaga ruang publik yang beradab,” ujar Agus pada acara bedah buku karyanya berjudul "Dialektika Digital", Selasa (5/4).
Buku ini mengupas kondisi industri jurnalisme Indonesia di tengah gempuran platform digital. Bagaimana industri pers bekerja dan pengaruh platform digital terhadap berita. Menurutnya, di tengah disrupsi platform digital terhadap media konvensional, media tetap harus bertahan menghadapi dialektika ini.
Melalui buku ini, Agus mendorong platform digital mengambil peran dan tanggung jawab yang lebih besar, karena selain menjadi perusahaan teknologi, mereka juga penerbit.
Dia memberikan contoh bagaimana bentuk sinergi antara pembuat kebijakan untuk mempertahankan media di tengah disrupsi tersebut.
Dalam konteks pandemi Corona Virus Desease-19 (Covid-19), ketika kondisi menjadi serba digital, Selandia Baru dan beberapa negara di Eropa memberikan insentif kepada industri media. Mereka sadar bahwa informasi merupakan kunci dalam penanganan pandemi.
“Negara hadir untuk memberikan insentif dengan syarat perusahaan media tidak boleh memecat wartawannya,” kata Agus.
Agus menyampaikan, pemberian insentif selama masa pandemi juga telah diterapkan pemerintah kepada media-media di Indonesia. Namun, untuk menyelamatkan sebuah media dalam era transformasi digital, pemberian insentif dinilainya belum cukup.
Kehadiran negara dalam transformasi digital, disampaikan Jurnalis Senior, Don Bosco Selamun telah diterapkan di beberapa negara, seperti Jerman, Australia, Inggris, dan sebagainya. Hal itu memperlihatkan bahwa media tidak bisa maju sendiri menghadapi transformasi digital.
“Harus maju bersama-sama, tentu juga pemerintahnya,” kata Don Bosco.
Dalam kesempatan yang sama, Dirjen IKP Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), Usman Kansong, menyampaikan bahwa yang mesti dilakukan negara untuk menyelamatkan media pada era transformasi digital adalah intervensi melalui regulasi, salah satunya dengan aturan hak penerbit.
Regulasi yang tengah digarap pemerintah melalui Kominfo itu nantinya akan diajukan hak prakarsa ke Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) untuk kemudian dibahas dan dijadikan undang-undang.
“Nanti setelah diserahkan, akan mengajukan hak prakarsa ke Setneg lalu kemudian dibahas draft dan naskah akademiknya untuk kemudian dijadikan regulasi,” kata Usman.
Beberapa poin yang rencananya akan termaktub di dalam aturan hak penerbit, di antaranya proses negosiasi media dengan platform digital, hasil negosiasinya, hingga sanksi jika melanggar kesepakatan. Meski masih perlu ada diskusi lebih lanjut, Usman optimistis bisa mewujudkan aturan mengenai hak penerbit karena telah ada preseden dari beberapa negara.
“Kalau yang lain bisa, maka kita bisa,” tegasnya.