Tak Ada di UU TPKS, Pemerkosaan dan Aborsi Akan Diatur Revisi KUHP
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani telah mengetuk palu mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi Undang-Undang, pada sidang paripurna siang tadi, Selasa (12/4). Akan tetapi, pemerintah menilai aturan tersebut masih kurang jelas mengatur mengenai pemerkosaan dan aborsi.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej, mengungkapkan pasal-pasal mengenai pemerkosaan dan aborsi akan diatur lebih banyak pada revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Walaupun pada Pasal 4 UU TPKS sudah menjelaskan berbagai kejahatan seksual yang masuk kategori TPKS. Namun khusus untuk pemerkosaan dan aborsi diperlukan harmonisasi pada Revisi KUHP untuk mempermudah pembuktiannya.
Menurut Eddy, sapaan akrab Wamenkumham, untuk dalil pemerkosaan perlu menyesuaikan kembali dengan berbagai modus operandi bentuk kekerasan seksual. Revisi KUHP akan masuk ke dalam agenda paripurna DPR Juni mendatang.
“Kita sudah mendapat surat dari Komisi III (DPR), dan itu kita agendakan pada bulan Juni. Jadi masuk pada persidangan yang berikutnya,” ujar Edward usai Rapat Paripurna DPR di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (12/4).
Dalam menyempurnakan revisi UU KUHP, pemerintah bersama-sama dengan DPR akan mendengarkan masukkan dari berbagai kalangan, baik dari unsur masyarakat, aktivis LSM, kalangan akademisi, hingga penegak hukum.
“Dengan demikian, berbagai bentuk kejahatan seksual itu bisa ditanggulangi secara komprehensif,” katanya.
Belum sempurnanya UU TPKS juga diakui Ketua DPR, Puan Maharani. Menurutnya, ada beberapa hal yang belum termaktub dalam UU TPKS. Untuk itu, ia meminta seluruh elemen masyarakat turut mengawal penerapan undang-undang tersebut.
“Saya berharap implementasinya memang bermanfaat untuk mitigasi, perlindungan, dan jangan sampai ada kekerasan terkait perempuan dan anak di Indonesia,” tuturnya dalam konferensi pers setelah Rapat Paripurna DPR pada Selasa (12/4).
Meski belum sempurna, politikus PDIP ini menilai UU TPKS sudah cukup berpihak kepada korban, dan mencakup pemberian efek jera bagi para pelaku. Selain itu, memberikan perlindungan kepada korban saat menyampaikan laporan TPKS.
“Ini merupakan hadiah ulang tahun bagi perempuan-perempuan Indonesia menjelang Hari Kartini,” ujarnya.
Bagi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati, pengesahan ini menjadi tonggak bersejarah, setelah penantian panjang sejak 2016. Kala itu, pihaknya mengajukan draf naskah UU TPKS dengan nama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Ke depannya, pengesahan UU TPKS dalam Rapat Paripurna DPR memberikan tugas baru bagi pemerintah, khususnya Kementerian PPPA, untuk menyosialisasikan implementasi aturan baru ini, termasuk mempersiapkan aturan turunannya.
“Bagaimana kita ke depannya mengatur peraturan pelaksanaan, baik itu dari Peraturan Presiden maupun Peraturan Pemerintah untuk kepentingan yang terbaik bagi korban,” kata Bintang.
Senada dengan Bintang, Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani juga menyapaikan bahwa masih ada pekerjaan rumah terkait implementasi UU TPKS. Salah satunya, mengantisipasi lonjakan pengaduan kasus karena undang-undang ini memberikan kekuatan kepada korban.
“Akhirnya kita punya payung hukum yang baik, yang bisa memberikan terobosan dalam proses penanganan, terutama bagi perempuan. Kita tahu yang lebih banyak jadi korban memang perempuan dan anak,” ujarnya.
Pasal 4 UU TPKS sudah mengatur sembilan jenis kekerasan seksual, yang meliputi pelecehan seksual nonfisik dan fisik, pemaksaan kontrasepsi, sterilisasi, serta perkawinan. Kemudian penyiksaan, eksploitasi, dan perbudakan seksual, serta kekerasan seksual berbasis elektronik.
Tak hanya itu, terdapat 10 kekerasan seksual yang sudah diatur pada beberapa aturan lain, yang turut dimasukkan pada UU TPKS, yakni:
a. perkosaan;
b. perbuatan cabul;
c. persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap Anak;
d. perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban;
e. pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual;
f. pemaksaan pelacuran;
g. tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual;
h. kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga;
i. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan
j. tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.