Menjangkau Kelompok Rentan dengan Strategi Pemulihan Inklusif
Pandemi COVID-19 yang sudah berlangsung lebih dari dua tahun telah mengakibatkan krisis sosial dan ekonomi, serta berdampak terhadap kualitas kehidupan masyarakat.
Kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), pengungsi, dan anak muda juga menjadi populasi kunci dan ikut merasakan dampak dari pandemi COVID-19.
Dalam diskusi Tripartit bertajuk ‘Strategi Pemulihan Inklusif’ yang digelar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Indonesia bersama Katadata, Kepala Perwakilan PBB Indonesia Valerie Julliand mengatakan, penanganan pandemi COVID-19 bagi kelompok rentan membutuhkan strategi pemulihan inklusif.
Dengan strategi tersebut, orang-orang atau kelompok rentan yang terdampak COVID-19 dapat lebih berdaya di lingkungan sosial. “Ini memerlukan solidaritas sosial dan kerja sama banyak pihak,” ujar Valerie Julliand pada Rabu (20/4).
Lain dari itu, berdasarkan data Kementerian PPN/Bappenas, Indeks Pembangunan Inklusif Indonesia (IPEI), menurun dari skor 5,95 pada 2019 menjadi 5,25 pada 2020.
Hal ini menunjukkan terjadinya penurunan di tiga pilar yang dicanangkan oleh Bappenas di masa pandemi COVID-19, yaitu kualitas ketenagakerjaan, turunnya kemiskinan dan ketimpangan antarkelompok, dan memperluas akses dan kesempatan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Sejalan dengan upaya mitigasi turunnya tiga pilar IPEI tersebut, PBB melalui pendanaan antar badan PBB – United Nations COVID-19 Response and Recovery Multi-Partner Trust Fund telah mengalokasikan dana sebesar US$1,7 juta ke Indonesia.
Dana tersebut sebagai dana pelaksanaan program perlindungan sosial dan program pemberdayaan keberlanjutan di masa pandemi COVID-19. Program satu tahunan ini telah berjalan sejak Januari 2021.
“Program gabungan ini antara UNAIDS, UNDP, UNHCR dan ILO mengaktualisasi setiap kekuatan, keunikan, dan keahlian dari keempat badan PBB ini,” kata Julliand.
Julliand menambahkan, berbagai lokakarya pembangunan dan pengembangan kapasitas di proyek ini berhasil meningkatkan keterampilan kewirausahaan bagi lebih dari 2.000 perempuan dan kelompok rentan di daerah tertinggal.
Selain itu, program ini juga melibatkan setidaknya 6.000 SDM, Aparatur Sipil Negara (ASN), dan mitra sosial lainnya dalam membangun tempat kerja yang inklusif dan berperspektif gender.
Kepala Lab Innovative Finance Lab UNDP Indonesia, Muhammad Didi Hardiana mengatakan, UNDP menggulirkan program bersama yang fokus pada pengembangan kewirausahaan melalui pelatihan dasar secara intensif pemulihan inklusif pasca pandemi di Indonesia.
Sampai sejauh ini, kata Didi, program pengembangan kewirausahaan dan pelatihan dasar ini telah diikuti oleh 262 partisipan, sebanyak 61 persen di antaranya perempuan.
Lalu, sisanya merupakan bagian dari populasi kunci yang menjadi target dari program ini, termasuk kaum muda, penyandang disabilitas dan ODHA. “Program ini juga telah dilakukan di 7 lokasi,” kata Didi.
Melalui dana gabungan ini, UNDP juga menggulirkan program yang mendukung ekosistem inklusivitas dan ketahanan ekonomi bagi populasi kunci. Program bersama yang pertama adalah youth collab, untuk mendukung pengembangan wirausaha muda.
Lalu ada she disrupt Indonesia, yaitu suatu kompetisi dan program peningkatan ketahanan ekonomi dengan memberdayakan pengusaha perempuan. “Ada juga ruang inklusif untuk penyandang disablitas,” ujar dia.
Sementara, Staf Nasional Proyek ILO Navitri Putri Guillaume, mengatakan melalui program ini ILO berhasil menggelar berbagai program dengan menggandeng 36 mitra di seluruh Indonesia dalam rentang waktu kurang dari satu tahun.
Navitri mengatakan, peserta pelatihan kewirausahaan telah menyerap 1.400 peserta. Lalu sekitar 85,8 persen berhasil membuat rencana bisnis, baik untuk pengembangan maupun rintisan awal bisnis para peserta.
Di sisi lain, dia menambahkan kampanye inklusivitas melalui media sosial telah diikuti oleh 2.206 pekerja dan menghasilkan 1.797 postingan media sosial.
Lebih lanjut, Penasihat Hak Asasi Manusia (HAM) dan Gender UNAIDS Indonesia Yasmin Purba mengatakan, orang yang hidup dengan HIV dan populasi kunci merupakan salah satu kelompok yang paling terdiskriminasi di Indonesia, khususnya di masa pandemi COVID-19.
Dia mengatakan, data United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS) menunjukkan ada sekitar 543 ribu orang di Indonesia yang terkonsentrasi HIV dan tingkat epidemi lalu tersegmentasi ke dalam empat kelompok populasi kunci.
“Mereka mengalami diskriminasi dalam berbagai tatanan kehidupan, termasuk di sektor pendidikan, layanan kesehatan, rumah tangga, sektor keadilan, dan di tempat kerja,” kata dia.
Maka dari itu, UNAIDS bekerja sama dengan Yayasan Kusuma Buana, mengembangkan platform kebijakan online agar orang-orang dapat lebih memahami inklusivisme, khususnya terhadap populasi kunci progam ini.
“Kami mendorong advokasi kebijakan yang bisa memastikan, bisa mendorong inklusivisme di tempat kerja, untuk memberikan lingkungan yang aman bagi orang HIV dan populasi kunci,” ujarnya.
Julia Zajkowski, Petugas Perlindungan Senior UNHCR mengatakan sejauh ini UNHCR terus melakukan upaya advokasi supaya pengungsi yang ada di Indonesia dapat mengakses hak dan kebutuhan dasar mereka, seperti kesehatan, edukasi, pemberdayaan, dan sumber pencaharian.
“UNHCR telah memberikan bantuan untuk menutupi biaya kebutuhan dasar sehari-hari (basic needs). Namun bantuan ini perlu fokus lebih spesifik lagi kepada kelompok rentan dan populasi kunci,” kata Zajkowski.
Dia mengatakan, pengungsi memiliki hak dan martabat yang sepatutnya dipertimbangkan lebih jauh. Sebab setiap pengungsi memiliki potensi yang tidak terdeteksi masyarakat pada umumnya, sehingga, perlu pemberdayaan agar mereka dapat berkontribusi pada ekonomi lokal.
Zajkowski meyakinkan, UNHCR terus berusaha membantu para pengungsi. Sejauh ini, sekitar 30 persen anak pengungsi sudah mengikuti pendidikan di sekolah umum.
Namun untuk akses mendapatkan pekerjaan secara legal, dia mengatakan masih ada kendala teknis lantaran ketiadaan legalitas kuat untuk masalah pengungsi di Indonesia.