Kurangi Sampah Plastik, Apeksi Beberkan Beberapa Tantangan
Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia atau Apeksi mengingatkan pemerintah untuk terus terlibat dalam penanganan dan pengolahan sampah plastik. Asosiasi juga berupaya mendorong potensi pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah atau UMKM ramah lingkungan.
Hal itu dibahas dalam lokakarya rangkaian HUT Apeksi ke-22 di Bandar Lampung, Sabtu (28/5). Forum tersebut, mayoritas dihadiri oleh para Kepala Dinas Perindustrian dan Kepala Dinas UMKM dari seluruh anggota Apeksi.
Direktur Eksekutif Center for Southeast Asian Studies atau CSEAS, Arisman menyadari bahwa proyek penanggulangan sampah, terkhusus sampah plastik yang merupakan program jangka panjang. Untuk itu, diperlukan kerja sama dan konsistensi antar lembaga.
Dia menambahkan, Pemerintah tingkat lokal baiknya mengajak pihak industri untuk secara bersama menyelesaikan persoalan sampah plastik. Selain itu, pemerintah dinilai perlu membangun kepercayaan kepada pihak industri, bahwa program atau paket kebijakan yang progresif terhadap lingkungan tidak mengganggu bisnis mereka.
"Langkah pendek sepertinya enggak ada ya. Ini langkah perjalanan, pola pikirnya harus diubah. Mungkin bisa edukasi ke industri lokal dan kecil, minimal mengurangi penggunaan plastik karena menghilangkan itu memang sulit," kata Arisman.
Berdasarkan laporan Minderoo Foundation Mei 2021, setiap warga Indonesia menghasilkan sembilan kilogram (kg) sampah plastik sekali pakai. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara dengan buangan sampah plastik sekali pakai per kapita terbesar keenam di Asia Tenggara pada 2019, setara dengan Filipina.
Sementara itu, Wali Kota Banjarmasin, Ibnu Sina menyampaikan untuk mengurangi penggunaan plastik di wilayahnya. Pemerintah Kota (Pemkot) Banjarmasin mengadakan Program Pasar Bebas Plastik yang dimulai sejak akhir 2021. Program tersebut dilakukan di dua pasar tradisional, yakni Pasar Pandu dan Pasar Pekauman.
"Harus ada tindakan konkret yang dilakukan hari ini," kata Ibnu saat menyampaikan presentasinya.
Di samping itu, dibutuhkan juga kerja sama untuk menggerakkan minat, inisiatif dan kepedulian masyarakat terhadap potensi bahaya dari penggunaan plastik secara berlebihan. Jika ketiga hal tersebut sudah terbentuk dan dilakukan secara konsisten, Ibnu menilai program tersebut akan tumbuh menjadi budaya yang tak akan hilang, meskipun wali kota dan kepala dinas berganti.
"Memang harus ada pendekatan terus-menerus dengan para pedagang tradisional. Kalau tidak dilakukan secara konsisten, pelan-pelan akan hilang. Libatkan komunitas dan jangan bosan-bosan untuk menyapa para pedagang di pasar," ujarnya.
Kehadiran program Pasar Bebas Plastik di Banjarmasin, diharapkan mampu mendorong seluruh pedagang dan konsumen mulai membiasakan diri untuk tidak lagi menggunakan plastik sekali pakai saat berbelanja. Apalagi setiap Pemerintah Daerah diwajibkan oleh Pemerintah Pusat untuk melakukan pengelolaan sampah sebesar 30% dan 70% untuk penanganan sampah.
Pengelolaan sampah dirasa lebih sulit karena mengatur tentang produksi dan aspek pelarangan tertentu. "Harus berbicara dengan produsen karena akan ada aturan dan aspek pelarangan-pelarangan tertentu. Sedangkan yang 70 % ini sampah sudah jadi," ujarnya.
Ibnu menilai, harus ada inovasi pemilahan dan bank sampah non-organik. Di antaranya, seperti rumah cacah, dan pemberdayaan dasa wisma untuk membuat kompos skala rumahan. Dengan begitu, ada tindak lanjut dari penerimaan sampah plastik.
Direktur Pengembangan Bisnis Indonesian Packaging Federation, Ariana Susanti mengatakan penanganan sampah plastik harus dimulai dari manajemen sampah dengan struktur paling rendah, yakni rumah tangga. Menurutnya, perlu adanya kolektifikasi dan pemilahan sampah yang memisahkan antara sampah plastik untuk diolah kembali.
Selain itu, perlu adanya sejumlah regulasi yang mengatur agar wacana yang hanya ramai di acara diskusi publik, bisa diterapkan di lapangan. Ariana mengatakan perlu adanya insentif bagi rumah tangga atau asosiasi yang menjalankan regulasi tersebut. Pemilahan sampah bisa dimulai dari lingkup rumah tangga.
Tak hanya itu, upaya penanganan sampah di Indonesia juga memerlukan insentif. Berkaca pada Jerman dan Jepang, Ariana mengatakan kalau asosiasi pengolah sampah di sana memperoleh insentif.
"Perlu adanya regulasi dan konkret. Perlu kampanye yang menyasar anak-anak muda yang saat ini peduli pada isu lingkungan," ujar Ariana.