Demi Persaingan Sehat, Indonesia Butuh Regulasi OTT
Netflix menjadi platform over the top (OTT) alias tayangan streaming yang populer di dunia. Menurut data Statista, jumlah pelanggan Netflix di seluruh dunia menunjukkan peningkatan signifikan selama lima tahun terakhir. Dibandingkan dengan kuartal III 2017, pelanggan Netflix melonjak sebesar 105,30 persen pada periode yang sama di tahun 2021.
Di Tanah Air, Netflix juga digemari oleh masyarakat. Popularitas platform tersebut dibuktikan dengan dengan pesatnya pertumbuhan pelanggan Netflix di Indonesia. Dilansir dari Nakono.com, tren pertumbuhan pelanggan streaming Netflix di Indonesia tumbuh 2,5 kali lipat pada tahun 2018 menjadi 237,3 ribu pelanggan.
Semenjak pandemi Covid-19, kebutuhan akan layanan streaming turut bertambah. Saat ini, setidaknya terdapat sekitar sebelas layanan streaming di Indonnesia dengan genre tayangan yang berbeda-beda. Layannan streaming video di Tanah Air semakin ramai dengan kehadiran Disnet+ Hotstar sejak September 2020. Selain Netflix dan Disney+ Hotstar ada pula HBO GO, GoPlay, dan Viu, serta penyedia layanan lain.
Dibandingkan Disney+ Hotstar, Viu asal Hong Kong sudah duluan menjangkau pasar Indonesia sejak 2016. Disusul perusahaan rintisan (startup) Gojek yang menghadirkan layanan streaming GoPlay pada September 2019.
Urgensi Regulasi Over The Top (OTT) di Tanah Air
Seiring semakin ketat persaingan bisnis layanan streaming video maka regulasi yang mengatur pemain over the top (OTT) jadi kebutuhan mendesak. Layanan OTT yang mencakup konten berupa data, informasi, maupun multimedia dengan jaringan internet menjadi elemen penting dari supply chain broadband. Saat ini, belum ada regulasi yang mengatur untuk menjaga kompetisi sehat dengan ekosistem lainnya.
Menurut Direktur Wholesale & International Service Telkom, Dian Rachmawan, bila OTT dibiarkan berjalan tanpa regulasi, maka keberlanjutan ekosistem digital tidak akan dapat berlanjut, terutama para operator yang menjadi bagian dari supply chain broadband.
Ia juga menjelaskan bahwa kehadiran regulasi yang mengatur bisnis OTT sudah mendesak bagi Tanah Air sebab pemain bisnis tersebut sama sekali tidak pernah membayar ongkos infrastruktur.
“Bagaimana operator jaringan dituntut terus melakukan investasi jaringan untuk membuka akses wilayah yang begitu luas dengan ketidakmerataan infrastruktur seperti wilayah Indonesia, sementara OTT, khususnya asing, tidak memiliki kewajiban regulasi apapun,” ujarnya, dikutip dalam Indotelko (11/8/2020).
Menurutnya, beberapa negara juga sedang mempertimbangkan pemberlakuan pajak atas pendapatan yang diperoleh dan dieksploitasi oleh OTT. Regulasi tersebut juga diperluas dengan memaksa OTT bekerjasama dengan operator jaringan untuk manfaat ekonomi negara yang lebih luas.
“Kami mengusulkan regulasi bagi OTT bagi Indonesia, sebab jika negara hadir dalam ekosistem digital ini maka persaingan sehat akan muncul. Masyarakat diuntungkan serta pelaku usaha juga terjamin kelangsungan usahanya. Ujungnya, ekonomi digital menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi di masa depan,” tutup Dian.
Kehadiran berbagai penyedia layanan OTT merupakan sekelumit imbas dari transformasi digital. Kondisi ini sejalan dengan upaya penguatan literasi digital, khususnya pilar budaya digital.
Budaya digital tak lain merupakan hasil dari kreativitas manusia yang berbasis teknologi internet. Dan layanan OTT merupakan salah satu hasil dari inovasi dan cipta karya manusia pada era teknologi digital tersebut.
Informasi lebih lanjut terkait literasi digital dapat diakses melalui info.literasidigital.id.