Bersama-sama Hadapi Tantangan untuk UKM Mendunia
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) menjadi tulang punggu perekonomian di Indonesia.
Namun kontribusi UKM terhadap ekspor nasional masih sangat minim. Berbagai faktor menjadi biang keladi sulitnya UKM Tanah Air menembus pasar dunia.
Staf Ahli Menteri Koperasi dan UKM bidang Produktivitas dan Daya Saing, Yulius, membeberkan membeberkan faktor-faktor tersebut. Menurutnya, tantangan bagi UKM di Indonesia harus dihadapi dengan serius dan bersama-sama. Apalagi sumbangsih sektor UKM secara nasional terhadap produk domestik bruto (PDB) begitu besar.
Tantangan pertama yaitu persoalan Logistics Performance Index (LPI) Indonesia tergolong rendah, yaitu senilai 3,15. Sementara LPI negara lain seperti Jerman (4,2), Swedia (4,05), Belgia (4,04), Singapura (4,0), dan Jepang (4,03). Namun jika dibandingkan dengan lower-middle income group seperti India, atau emerging economies seperti Vietnam dan Cote d’Ivoire, LPI Indonesia tidak tertinggal terlalu jauh.
"Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk bisa memperbaiki indeks tersebut," kata Yulius dalam acara BanggaUKM Indonesia dengan tema 'Win Local, Go Global' dan disaksikan secara daring, Selasa (28/6).
Di sisi lain, biaya logistik yang tinggi di Indonesia yaitu mencapai 24% dari PDB nasional menjadi tantangan berikutnya. Menurut Yulius, biaya logistik di negara lain seperti Malaysia hanya 13%, India 14%, dan China 14% dan Vietnam 20%.
Padahal, logistik menjadi salah satu tulang punggung dari perdagangan lintas negara. Dia menegaskan, manajemen logistik yang bagus mampu mengurangi trade cost dan membantu negara bersaing di kancah global.
Lalu, proses border compliance di Indonesia membutuhkan waktu 56 jam, sedangkan pada proses documentary compliance membutuhkan waktu 61 jam. Berbeda dengan China yang hanya membutuhkan waktu kurang dari 24 jam.
Tantangan UKM untuk mendunia selanjutnya adalah pandemi covid-19. Masa pandemi mengakibatkan kelangkaan yang menyebabkan semakin tingginya biaya ekspor. Terjadi kenaikan harga sewa rata-rata 152%. Tujuan Asia naik 110%, Eropa 199%, Amerika 126%, Australia 155%, dan Afrika 173%.
Tantangan krusial yang menjadi hambatan UKM Indonesia mendunia adalah urusan pembiayaan. Kata Yulius, banyak UKM-UKM di Indonesia justru tidak sanggup melakukan ekspor ketika permintaannya banyak. Masalah utamanya adalah kesulitan pendanaan.
"Kita tahu bahwa sumber pendanaan dari perbankan itu hanya 20 persen untuk UMKM. Bank belum bisa memberikan lebih daripada itu," kata dia.
Terkait hal itu, Yulius mengungkapkan, pemerintah telah mendorong perbankan untuk memberikan pendanaan bagi UKM hingga 30 persen dari total pinjamannya pada 2025.
Jika dibandingkan, dengan 20 persen pinjaman perbankan, sektor UKM bisa menyediakan 97 persen tenaga kerja. Sementara itu, 80 persen pinjaman kepada pengusaha besar hanya bisa menciptakan tenaga kerja sebesar 3 persen. Ini sangat kontradiktif.
Berikutnya adalah masalah kualitas barang. Kualitas barang UKM yang ingin dikirim ke luar negeri harus sudah sertifikasi uji layak atau tidak. Untuk melakukan sertifikasi produk, lagi-lagi terkendala masalah biaya.
"Ini kira-kira yang membuat kita selalu kalah bersaing dengan negara lainnya. Karena dalam ekspor itu yang paling utama adalah kualitas, kuantitas, dan ketersediaan," ujarnya.
Demi mengatasi permasalahan tersebut, lanjut Yulius, pemerintah melakukan pelatihan pendidikan kepada UKM untuk bisa melakukan ekspor. Lalu, pemerintah berupaya mendorong agar UKM dapat melek digital. Saat ini baru UKM yang melek digital baru mencapai 12 juta. Tahun 2030 akan dorong hingga mencapai 30 juta UKM yang melek digital.
Pemerintah juga mendorong agar UKM bisa bekerja sama dengan pengusaha besar dalam urusan ekspor. Tujuannya agar biaya modal yang dikeluarkan tidak terlampau besar.
Selain itu, Yulius membeberkan produk apa saja yang menjadi andalan Indonesia dan dicari-cari oleh negara lain. Pada komoditi pertanian (buah-buahan seperti nanas, pisang dan melon); perikanan (tuna sirip kuning, udang, kepiting); furnitur (bambu dan kayu); kopi; coklat; teh dan rempah-rempah.
"Negara tujuan ekspor utama China, Amerika Serikat, Jepang, India, dan Singapura," ujar Yulius.
Kebanyakan UKM bergantung kepada pemerintah dan lonjakan perbankan. Namun, tidak dengan Revolt Industry. CEO Revolt Industry, Stephen Firmawan Panghegar mengatakan, sejak berdiri pada tahun 2014, Revolt Industry sangat independen atau mandiri. Modal awalnya saja hanya Rp7 jutaan.
Ia memulai usahanya ini mulai dari garasi dengan dibalut oleh mimpi dan keresahan. Sudah banyak lika-liku yang berhasil dihadapi karena buah hasil kerja keras jajaran brand. Ada faktor keberuntungan dan kehebatan semesta.
"Dari garasi, di tahun pertama kebakaran, kemalingan, kebanjiran, dan pandemi. Tapi kita berdiri lagi," kata Stephen.
Pada intinya, Revolt Industry sangat independen secara brand. Artinya, orang di balik Revolt Industry melakukan usahanya sendiri. Mulai dari pemilihan bahan produk sampai pada tahap penjualan.
Stephen mengakui bahwa pagebluk menjadi baru sandungan terbesar untuk Revolt Industry. Kalau biasanya 25% penjualan setiap tahunnya untuk ekspor, tetapi selama pandemi turun drastis hingga 10%.
"Revolt Industry adalah sebuah brand lokal independen yang bergerak di bidang fesyen dan gaya hidup dengan produk fesyen berbahan kulit lokal dan produksinya secara handmade. Saat ini, total omzet kami per bulannya mencapai Rp400, sumbangan ekspor masih sangat kecil yaitu Rp40 jutaan," ungkapnya.