Menlu Retno Marsudi Sampaikan Duka Cita atas Meninggalnya Shinzo Abe
Kementerian Luar Negeri Indonesia menyampaikan duka cita atas meninggalnya mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, yang ditembak saat sedang berpidato di kota Nara pada Jumat (8/7). Shinzo Abe meninggal dunia pada usia 67 tahun.
Pernyataan ini disampaikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi kepada wartawan usai pertemuan Menlu G20 di Nusa Dua Bali. Ia menilai, dedikasi Abe semasa hidupnya akan menjadi teladan.
"Saya ingin menyampaikan simpati dan belasungkawa dari Pemerintah dan masyarakat Indonesia kepada warga Jepang saat ini. Dedikasinya (Shinzo Abe) kepada bangsa dan negara akan selalu dikenang sebagai teladan utama bagi semua," kata Retno, dalam pernyataannya seperti disiarkan melalui YoTube, Jumat (8/7).
Abe sempat mengalami kondisi kritis lantaran mendapatkan tembakan di leher serta dada. Ia ditembak dari belakang saat berpidato menjelang pemilihan Majelis Tinggi di Nara.
Pelaku penembakan itu adalahTetsuya Yamagami, 41, mantan Marinir Angkatan Laut dan Pasukan Bela Diri Jepang hingga 2005. Ia menembak Abe sebanyak dua kali. Meski demikian, motivasi penembakan yang dilakukan oleh tersangka tidak jelas.
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengatakan, serangan itu tak dapat ditoleransi, biadab, serta jahat. "Saya ingin menggunakan kata-kata paling keras untuk mengutuk tindakan ini," kata Kishida, seperti dikutip dari The Guardian.
Sayangnya, usai menjalani operasi di Nara Medical University dan ditangani oleh 20 dokter, nyawa Abe tetap tak tertolong. "Kami mencoba menanganinya, tetapi sayangnya, dia meninggal pada pukul 17:03," kata dokter Fukushima Hidetada dari Universitas Kedokteran Nara dikutip dari NHK.
Insiden penembakan terhadap Abe merupakan pembunuhan pertama terhadap seorang pejabat atau mantan perdana menteri Jepang sejak zaman militerisme sebelum perang di tahun 1930-an.
Rakyat Jepang dan para pemimpin dunia terkejut atas insiden penembakan yang menewaskan Shinzo Abe. Selama ini Jepang dikenal sebagai negara yang jarang mengalami kekerasan politik serta ketatnya kontrol senjata.
"Serangan ini adalah tindakan brutal yang terjadi selama pemilihan - dasar dari demokrasi kita - dan benar-benar tidak dapat dimaafkan," kata Kishida, berjuang untuk menahan emosinya.