Dugaan Pakar Penyebab Obat Sirop Mengandung Racun Etilen Glikol
Kementerian Kesehatan telah menghentikan penggunaan obat sirop usai munculnya kasus gagal ginjal akut. Ini karena ada dugaan kandungan etilen glikol dalam beberapa obat memicul penyakit tersebut.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan etilen glikol maupun dietilen glikol bukan merupakan bahan baku. Namun senyawa ini bisa muncul jika pembuatan polietilen glikol dilakukan secara tidak baik.
"Kalau polietilen glikol ini dibuat dengan tidak baik, maka akan tercemar dan mengandung etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG), dan etilen glikol buthyl ether (EBGE)," kata Budi saat konferensi pers, Jumat (21/10).
Belum jelas, bagaimana senyawa tersebut bisa masuk dalam obat sirop. Meski demikian epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman berpendapat hal ini bisa saja terjadi karena dampak pandemi Covid-19.
Dicky menjelaskan, saat pandemi sedang melanda Indonesia, kebutuhan obat sirop meningkat. Ini terjadi karena balita tidak mendapatkan vaksin, sehingga mereka memerlukan obat konvensional.
Hal ini mengakibatkan produsen harus memacu produksinya karena kebutuhan obat sirop untuk anak-anak sangat besar. "Di sini sering terjadi pengabaian, apalagi pemantauan di Indonesia lemah," kata Dicky kepada Katadata.co.id, Jumat (21/10).
Dia menilai, pengawasan obat yang dilakukan dalam pandemi agak melemah. Sementara, produksi obat-obatan harus terus digenjot. "Titik (lemah) belum bisa diidentifikasi, tapi harus dilihat satu per satu," katanya.
Sedangkan Sekretaris Utama BPOM Elin Herlina mengatakan tidak ada bahan baku obat sirop di Indonesia yang berasal dari India. Sebelumnya kasus serupa muncul di Gambia usai pasien anak meminum obat buatan Negeri Bollywood itu.
"Ke depannya, kami koordinasi intensif dengan Kemenkes dalam masuknya bahan baku obat," katanya.
Adapun industri farmasi belum merespons soal potensi lemahnya pengawasan akibat pandemi. Ketua Komite Perdagangan dan Industri Bahan Baku Farmasi Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Vincent Harijanto lebih memilih untuk menunggu hasil penelitian Kemenkes dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Karena dalam produksi itu ada batch, ini pada batch yang mana dan produksi di mana," kata Vincent kepada Katadata.co.id, Jumat (21/10).