Rupiah Melemah, Eks Bos Pertamina: Harga Pertalite Harusnya Rp 12.000
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang tahun ini berpotensi mempengaruhi harga BBM di Indonesia. Sebab, nilai tukar merupakan salah satu faktor yang diperhitungkan selain pergerakan harga minyak.
Terlebih lagi saat ini Indonesia merupakan net importer minyak. Dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus melemah, maka nilai rupiah yang dikeluarkan untuk membeli minyak mentah dalam volume yang sama akan semakin besar.
Menurut Direktur Utama PT Pertamina (Persero) periode 2006-2009, Ari Hernanto Soemarno, harga wajar atau keekonomian BBM bersubsidi Pertalite berada di angka Rp 11.000-12.000 per liter. Saat ini harga Pertalite sebesar Rp 10.000 per liter.
Sedangkan harga keekonomian BBM Pertamax Rp 14.000 per liter atau selisih Rp 100 dari harga jual eceran Rp 13.900 per liter. "Harga keekonomian Pertalite saya melihatnya sekarang Rp 11.000 sampai Rp 12.000 dengan kurs yang sekarang Rp 15.500 per dolar AS," kata Ari dalam Energy Corner CNBC pada Senin (24/10).
Adapun harga minyak mentah terus mengalami penurunan. Minyak West Texas Intermediate (WTI) pada Senin (24/10) petang turun menjadi US$ 84,06 per barel dari harga akhir pekan, Jumat (21/10), di level US$ 85,05. Sedangkan Brent turun tipis menjadi US$ 92,75 dari harga US$ 93,50 per barel pada harga penutupan pekan lalu.
Menurut Ari, harga minyak mentah global yang tengah melandai saat ini tak serta merta menjadi faktor untuk menurunkan harga BBM di dalam negeri. Hal ini disebabkan nilai tukar rupiah yang terus melemah terhadap dolar AS.
Dengan nilai tukar rupiah yang terus melemah, hasil yang didapat dari penurunan harga minyak hanya bisa digunakan untuk mengurangi biaya kompensasi BBM ke Pertamina ketimbang menurunkan harga jual BBM.
Dia menambahkan jika kebijakan untuk menurunkan harga BBM bersamaan dengan turunnya harga minyak saat ini dinilai sebagai langkah yang terburu-buru. "Harga minyak akan terus tertekan turun ke level di bawah US$ 90 per barel. Namun dari segi dalam negeri, ada permasalahan nilai tukar," ujar Ari.
Lebih lanjut, kata Ari, harga minyak internasional akan terus naik-turun karena dipengaruhi oleh beberapa kondisi global seperti belum meredanya konflik antara Rusia dan Ukraina serta kondisi keekonomian Cina yang belum pulih akibat kebijakan lockdown atau penguncian wilayah Covid-19.
Kondisi tersebut berimbas pada kekhawatiran pelemahan ekonomi global yang dapat mengurangi permintaan minyak mentah dan BBM.
Namun penurunan harga minyak tak bertahan lama usai OPEC+ mengurangi produksi hingga 2 juta barel per hari (bph). Walau realisasinya baru mencapai kisaran 800.000 bph, kondisi tersebut kembali mengerek harga minyak di kisaran US$ 95-100 per barel.
Dia menjelaskan bahwa langkah OPEC+ untuk memangkas produksi minyak mentah dilatarbelakangi upaya untuk menjaga harga minyak di harga US$ 90-an di tengah rasa pesimis bahwa permintaan minyak akan terus turun sehingga berdampak pada merosotnya harga minyak.
"Oleh karena itu OPEC menurunkan produksi karena ingin menjaga harga minyak ke harga US$ 90-an yang merupakan patokan harga yang dipakai untuk anggaran belanja negara dan pendapatan negaranya," tutur Ari.