Bareskrim Periksa 30 Saksi Usai Geledah Kantor Pertamina Patra Niaga
Penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Ditipikor) Bareskrim Polri memeriksa sebanyak 30 saksi usai menggeledah kantor pusat Pertamina Patra Niaga Rabu (9/11). Pemeriksaan dilakukan untuk mendalami kasus dugaan tindak pidana korupsi jual beli BBM nontunai jenis solar antara PT Pertamina Patria Niaga (PPN) dengan PT Asmin Koalindo Tuhup (AKT) periode 2009 sampai dengan 2012.
Direktur Tindak Pidana Korupsi (Dirtipikor) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Cahyono Wibowo mengatakan, dari 30 saksi tersebut berasal dari berbagai pihak termasuk saksi ahli, di antaranya ahli keuangan.
“Untuk jumlah saksi sampai saat ini sekitar 30-an yang diperiksa, ada pihak dari PT AKT, PT PPN dan beberapa ahli,” kata Cahyono seperti dikutip dari Antara, Kamis (10/11).
Bareskrim telah meningkatkan status penanganan kasus dugaan korupsi ini ke tahap penyidikan sejak Agustus 2022 berdasarkan hasil gelar perkara. Penggeledahan pun telah dilakukan dalam rangka mengumpulkan barang bukti atau alat bukti dugaan tindak pidana tersebut. Penggeledahan dilakukan di tiga tempat secara serentak.
Tempat penggeledahan pertama di kantor pusat PT Pertamina Patra Niaga (PPN) di Gedung Wisma Tugu Jl Rasuna Said, Jakarta Selatan. Penggeledahan kedua di kantor PT PPN ruang informasi teknologi (IT) yang beralamat di Gedung Sopo Del Tower Jl Mega Kuningan Barat, Jakarta Selatan. Sedangkan penggeledahan ketiga dilakukan di Kantor PT AKT yang berada di Menara Merdeka Jl. Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat.
PT Pertamina Patra Niaga membenarkan adanya penggeledahan kantor mereka oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim). Penggeledahan dilakukan terkait dugaan korupsi jual beli BBM nontunai jenis solar antara anak usaha PT Pertamina itu dengan PT Asmin Koalindo Tuhup (AKT).
"Bareskrim memang telah mendatangi kantor Pertamina Patra Niaga untuk mendapatkan informasi terkait bisnis Pertamina dengan pihak AKT," kata Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga (PPN) Irto Ginting, saat dikonfirmasi Katadata.co.id, Kamis (10/11).
Irto membenarkan adanya piutang macet PT AKT ketika pelaksanaan perjanjian jual beli BBM Industri pada 2009-2012 lalu. Dia juga menjelaskan bahwa Pertamina Patra Niaga telah menagih piutang tersebut, namun tidak pernah terbayar.
PT AKT juga mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan diputuskan homologasi April 2016. Irto mengatakan saat itu AKT sepakat membayarkan hutangnya ke PPT mulai 2019, namun hingga kini tidak pernah dibayarkan.
"PPN telah melakukan penagihan realisasi pembayaran hutang berkali-kali, bahkan terakhir di Juni dan Oktober 2022," kata Irto.
Sementara itu, Irto mengatakan pihaknya akan ikut proses hukum yang sedang dilakukan. Irto mengatakan, selama tahap penyidikan, pihaknya mendukung proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Bareskrim Polri.
"Kami menghormati proses hukum yang sedang dilakukan oleh aparat penegak hukum," katanya.
Kronologi Dugaan Korupsi
Dugaan korupsi bermula ketika PT PPN selaku anak perusahaan PT Pertamina ini pada rentang tahun 2009 sampai dengan 2012 melakukan perjanjian jual beli BBM secara nontunai dengan PT AKT. Perjanjian ditandatangani oleh Direktur Pemasaran PT PPN dengan Direktur PT AKT dengan proses pelaksanaan kontrak sebagai berikut: tahun 2009 sampai dengan 2010 dengan volume 1.500 kilo liter (KL) per bulan.
Kemudian tahun 2010 sampai dengan 2011 PT PPN menambah volume pengiriman menjadi 6.000 kL per bulan (Addendum I). Lalu tahun 2011 sampai dengan 2012 PT PPN menaikkan volume menjadi 7.500 KL per pemesanan (Addendum II).
Pada proses pelaksanaan perjanjian tersebut PT PPN dalam tahap pengeluaran BBM Direktur Pemasaran PT PPM melanggar batas kewenangan untuk penandatanganan kontrak jual beli BBM yang nilainya di atas Rp 50 miliar. Berdasarkan surat keputusan direktur utama PT PPN Nomor: 056/PN000.201/KPTS/2008 tanggal 11 Agustus 2008 tentang pelimpahan wewenang, tanggung jawab dan otorisasi.
Setelah ada perjanjian itu, PT AKT tidak melakukan pembayaran sejak tanggal 14 Januari 2011 sampai dengan 31 Juli 2012 dengan jumlah Rp 19,75 miliar dan 4.738.456 US Dollar atau senilai Rp 451,6 miliar. Dari hasil penyelidikan diketahui, Direksi PT PPN tidak melakukan pemutusan kontrak terhadap penjualan BBM nontunai kepada PT AKT yang tidak melakukan pembayaran terhadap BBM yang telah dikirim dan Direksi PT PPN tidak ada upaya untuk melakukan penagihan.
Selain itu, tidak ada jaminan collateral berupa bank garansi atau SKBDN dalam proses penjualan BBM non tunai sehingga PT PPN mengalami kerugian pada saat PT AKT tidak melakukan pembayaran terhadap BBM yang telah diterima sejak tahun 2009 sampai dengan 2012 tersebut.
Berdasarkan data rekonsiliasi verifikasi tagihan kreditur pada proses PKPU tanggal 4 April 2016, diketahui BBM yang belum dibayarkan PT AKT kepada PT PPN sebesar Rp4516 miliar. Sedangkan berdasarkan data yang disiapkan akuntansi hutang piutang PT PPN diketahui volume BBM jenis solar yang sudah terkirim ke PT AKT keseluruhan adalah 154.274.946 liter atau senilai Rp 278,6 miliar dan 102.600.314 US Dollar.
Dari hasil penyelidikan terdapat dugaan penerimaan uang oleh pejabat PT PPN yang terlibat dalam proses perjanjian penjualan BBM nontunai pada periode saat terjadi proses penjualan tersebut. Meski demikian, hingga kini, penyidik belum menetapkan tersangka dalam kasus tersebut.
“Secepatnya dijadwalkan setelah penetapan tersangka akan kami update lagi,” kata Cahyono.
Pasal yang disangkakan dalam kasus ini Pasal 2 dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.