Komnas HAM Temukan 6.000 Orang Jadi Korban Pelanggaran HAM Berat
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah memverifikasi 6.000 korban pelanggaran HAM berat. Komnas HAM akan menindaklanjuti upaya-upaya pemulihan bagi korban pelanggaran HAM berat.
Komnas HAM telah menerbitkan sekitar 300-500 surat keterangan korban pelanggaran HAM berat per tahun. Surat keterangan korban tersebut telah melalui verifikasi individual yang ketat dengan memeriksa korban dan keluarga korban.
Menurutnya, penyelesaian 11 pelanggaran HAM berat yang diakui oleh Presiden Joko Widodo akan berbeda dengan yang dilakukan Komnas HAM selama ini.
"Kami siap mendukung pemerintah untuk upaya-upaya verifikasi korban agar mereka mendapatkan status yang resmi dan mendapatkan haknya," ujar Ketua Komnas HAM Atnike nova Sigiro di Istana Merdeka, Senin (16/1).
Sedangkan Jokowi akan membentuk mekanisme pemulihan korban terkait 12 pelanggaran HAM berat. Pemulihan yang dimaksud adalah selain bantuan medis dan psikososial.
Atnike mengatakan sejauh ini layanan pemulihan korban pelanggaran HAM berat baru dilakukan oleh Layanan Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK. Layanan yang dimaksud adalah bantuan medis dan pelayanan psikososial.
"Penting agar nanti mekanisme pemulihan sebagai tindak lanjut dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu dapat merumuskan prosedur yang tepat, tetapi juga mudah bagi korban sehingga bisa mendapatkan hak mereka," kata Atnike
Atnike belum mengetahui bentuk tindak lanjut dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Namun tindak lanjut tersebut dinilai dapat mengidentifikasi korban dan pihak yang berhak mendapatkan pemulihan.
Di samping itu, Komnas HAM akan menentukan pelanggaran yang akan diprioritaskan dari 11 pelanggaran HAM berat yang diumumkan Presiden Joko Widodo. Oleh karena itu, Atnike berencana membuka kembali berkas-berkas lama untuk menilai kasus mana yang paling siap untuk ditangani Komnas HAM.
Akan tetapi, Atnike menilai penyelesaian 11 pelanggaran HAM tersebut tidak dapat selesai dalam waktu 1-2 tahun ke depan. Pasalnya, penyelesaian Kasus Painai membutuhkan waktu penyelesaian hingga 8 tahun atau selama 2014-2022.
"Saya rasa enggak bisa ada rumusnya terkait waktu penyelesaian pelanggaran HAM berat," ujar Atnike.
Komnas HAM telah memulai diskusi dengan Kejaksaan Agun untuk mencari dan menyepakati standar penyelidikan dan penyidikan terkait pelanggaran HAM berat. Menurutnya, perbaikan prosedur penyelidikan dan penyidikan akan membuat proses yudisial pelanggaran HAM berat berjalan lebih efektif.
Oleh karena itu, Komnas HAM belum dapat menyampaikan target penyelesaian 11 pelanggaran HAM berat tersebut. "Prosedur pengadilan itu bicara prosedur yang sangat teknis, itu yang perlu diperkuat," katanya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyatakan belum akan menyelesaikan 11 pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM berat dalam waktu dekat. Hal tersebut dilakukan agar seluruh pelanggar HAM berat dapat berhasil dijerat oleh hukum negara.
Mahfud mengatakan seluruh pelanggar HAM berat yang sudah diadili telah dibebaskan oleh pengadilan. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan standar pembuktian pelanggaran HAM berat oleh Komisi Nasional HAM dan Kejaksaan Agung.
"Empat pelanggaran HAM berat sudah diadili dan dibebaskan semua terdakwanya oleh pengadilan, 35 orang loh dibebaskan. Kasus pelanggaran HAM Timor Timur, Tanjung Priok, Abepura, dan Paniai bebas semua," kata Mahfud dalam konferensi pers virtual, Kamis (12/1).
Secara khusus, Mahfud menyarankan para legislator untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc yang tertuang dalam Pasal 43 UU Nomor 26 Tahun 2000. Dalam pasal tersebut, pengadilan HAM ad hoc berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pelanggaran HAM berat masa lalu.