Gantikan Jacinda Ardern, Chris Hipkins Resmi Jadi PM Selandia Baru
Selandia Baru telah memiliki pemimpin baru usai Jacinda Ardern mengundurkan diri. Ketua Partai Buruh, Chris Hipkins telah dilantik sebagai Perdana Menteri ke-41 Selandia Baru pada Rabu (25/1).
Dikutip dari Antara, Hipkins merupakan kandidat kandidat tunggal untuk menggantikan Ardern yang mundur pada 19 Januari lalu. Ia juga telah disumpah oleh Gubernur Jenderal Selandia Baru Cindy Kiro di Wellington.
Selain menjadi PM, politisi berusia 44 tahun ini juga dilantik sebagai Menteri Keamanan Nasional dan Intelijen. Usai pengambilan sumpah, Hipkins mengatakan dirinya bersemangat untuk menghadapi tantangan ke depan.
Hipkins sebelumnya menjabat sebagai Ketua Parlemen, Menteri Pendidikan, sekaligus Menteri Pelayanan Publik Selandia Baru. Ia juga memiliki reputasi sebagai Mr Fix It (tuan perbaikan) partai saat mengelola masalah yang sulit.
Tak hanya itu, Hipkins juga populer di tengah masyarakat Selandia Baru. Ini karena ia sempat memimpin langkah pemerintah dalam melawan Covid-19.
Meski demikian, politisi kelahiran Hutt Valley ini memiliki tigas berat untuk meningkatkan suara Partai Buruh pada pemilihan Oktober mendatang. Ini karena partai tersebut masih tertinggal dari saingan utamanya, Partai Nasional akibat tekanan biaya hidup di Selandia Baru.
Sebelumnya, Jacinda Ardern mengaku tak memiliki lagi tenaga untuk menjadi PM Selandia Baru. Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk mengakhiri jabatan yang telah diembannya sejak 2017.
"Saya tahu apa yang dibutuhkan pekerjaan ini. Dan saya tahu bahwa tidak lagi memiliki cukup energi untuk melakukannya dengan adil. Sesederhana itu," ujarnya.
Ardern menjadi kepala pemerintahan wanita termuda di dunia ketika terpilih sebagai perdana menteri pada tahun 2017 di usia 37 tahun. Dia telah memimpin Selandia Baru melewati pandemi Covid-19 dan bencana besar, termasuk serangan teror di dua masjid di Christchurch, dan erupsi vulkanik di White Island.
Selama setahun terakhir, Ardern menghadapi peningkatan ancaman kekerasan yang signifikan, terutama dari kelompok ahli teori konspirasi dan anti-vaksin yang marah dengan mandat vaksin dan penguncian Covid-19. Namun, ia menegaskan, ini tidak menjadi alasan keputusannya untuk mundur.
“Saya tidak ingin meninggalkan kesan bahwa kesulitan yang saya hadapi dalam politik adalah alasan orang keluar. Ya, itu memang berdampak. Bagaimanapun juga kita adalah manusia, tapi itu bukan dasar keputusan saya," ujarnya.