Kepala Desa Ancam Habisi Parpol, Apa Kekuatan Politik Kades?
Komisi II DPR menjadi pengusul revisi Undang-Undang atau UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Revisi UU Desa yang di antaranya mengatur perpanjangan masa jabatan kepala desa ini tiba di Badan Legislasi DPR setelah para kepala desa mengancam partai politik.
Dalam demonstrasi yang berlangsung pada 17 dan 25 Januari ini, ribuan kepala desa mendesak DPR untuk mendukung perpanjangan masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Dalam demonstrasi, muncul ancaman dari kepala desa akan menghabiskan partai politik dalam Pemilu 2024.
Pengamat Politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional Wasisto Jati mengatakan posisi Kepala Desa memang memiliki posisi politik yang signifikan. Pasalnya, calon Kepala Desa mempraktekkan politik akar rumput pada masa kampanyenya.
"Dia juga yang mengatakan bantuan pemerintah ke masyarakat desa. Jadi, secara politik peran Kepala Desa itu strategis dalam menjembatani aspirasi warga desa dan pemerintah," kata Jati kepada Katadata.co.id, Kamis (26/1).
Jati menilai seorang Kepala Desa secara naluriah memiliki massa yang cukup besar di tingkat desa walau tidak terafiliasi partai politik. Dengan demikian, posisi Kepala Desa dianggap cukup penting oleh partai politik.
Menurutnya, Kepala Desa dapat menjadi alat penghubung kandidat saat masa kampanye politik dengan pemilih di desa. Peran kades dalam menentukan suara menjadi krusial lantaran pemilih desa cenderung satu suara atau homogen.
Oleh karena itu, Jati menilai revisi UU Desa dipicu oleh kepentingan elit politik. "Urgensi dari perpanjangan masa jabatan Kepala Desa itu kan kita belum tahu alasannya," kata Jati.
Sebagai informasi, UU Desa saat ini mengatur masa jabatan Kepala Desa adalah enam tahun dan bisa diperpanjang sebanyak dua kali. Usulan revisi yang diajukan adalah memperpanjang masa jabatan menjadi sembilan tahun dan bisa diperpanjang sebanyak satu periode.
Analis Sosial dan Politik Universitas Negeri Jakarta Ubeidilah Badrun mengatakan kekuatan politik seorang Kepala Desa cukup kuat. Ubedilah berpendapat seorang Kepala Desa dapat memberi pengaruh kepada masyarakat dalam menentukan pilihan politik. Pasalnya, masyarakat cenderung menganut budaya politik kawula dan diam saat tidak setuju.
Selain itu, Ubedilah menyampaikan Kepala Desa memiliki jejaring yang cukup luas. Seperti diketahui, sebuah desa umumnya terdiri dari puluhan Rukun Warga dan ratusan Rukun Tetangga. "Sehingga jejaringnya bisa dimanfaatkan Kepala Desa untuk kepentingan politik tertentu," ujar Ubedilah.
Senada dengan Jati, Ubedilah berpendapat urgensi revisi UU Desa belum terlihat dan alasan revisi tersebut belum dijelaskan. Ubedilah menilai revisi tersebut dapat merusak kualitas demokrasi.
Ubedilah mengamati Kepala Desa seringkali menikmati dan memanfaatkan situasi politik di desa. Dengan demikian, posisi Kepala Desa sangat berpotensi melanggengkan politik uang dalam kontestasi Pemilihan Umum.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio mengatakan revisi UU Desa belum tepat untuk dilakukan. Hal tersebut mengingat program dana desa yang masih jauh dari kata berhasil.
Untuk diketahui, pemerintah pusat mengucurkan rata-rata dana sekitar Rp 1 miliar yang dibagikan pada 74.961 desa setiap tahunnya. Pada 2022, dana desa yang tersalurkan baru mencapai 81,53% dari pagu atau senilai Rp 55,44 triliun.
Pada tahun ini, dana desa yang disiapkan mencapai Rp 70 triliun atau naik 2,94 persen dari pagu 2022 senilai Rp 68 triliun. "Kalau dengan uang Rp 1 miliar per tahun, harusnya di desa enggak ada kemiskinan. Sudah puluhan tahun, tapi enggak banyak berubah," kata Agus.
Agus mengatakan revisi UU Desa dapat merusak nilai demokrasi di desa. Alasannya, regenerasi pemimpin di desa akan menjadi lebih lama. Menurutya, desa seharusnya menjadi motor dalam penghasil pemimpin di dalam negeri.
Secara ideal, Agus mengatakan pemimpin di tingkat paling tinggi seharusnya memiliki pengalaman saat menjadi pemimpin di tingkat paling rendah, yakni desa. Agus menilai jejak rekam Presiden Joko Widodo menjadi bukti pemimpin yang lahir dari pemerintahan daerah hingga Kepala Negara.
"Ini saja sudah kebablasan enam tahun sebanyak tiga periode, apalagi dibikin sembilan tahun dikali dua periode? Saya lihat polemik ini diwarnai kepentingan partai politik," ujar Agus.
Sebelumnya, kepala desa yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Jember menggelar demonstrasi di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mereka mendesak DPR merevisi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Salah satu yang diperjuangkan adalah perpanjangan masa jabatan kades. Anggota DPR dari Fraksi Nasdem, Charles Melkiansyah mengatakan usulan para kades akan ditampung untuk masuk program legislasi nasional (Prolegnas).
"Saya mendukung aspirasi yang disampaikan kepala daerah," kata Charles pada Rabu (18/1) lalu.