Vonis Mati Ferdy Sambo Diharap Jadi Pintu Pembenahan Kepolisian
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis mati kepada Ferdy Sambo, terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Dalam putusannya, hakim mengatakan Ferdy Sambo secara sah dan meyakinakan terbukti melakukan tindak pidana atas didakwakannya kepadanya.
Vonis mati yang diterima Ferdy Sambo, langsung mendapat respon dari berbagai pihak. Apalagi vonis itu lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang hanya menuntut penjara seumur hidup.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang banyak bersuara sejak kasus ini bergulir di Pengadilan pada Oktober 2022 lalu turut menyatakan pendapat. Selang beberapa menit setelah putusan hakim, Mahfud berkicau lewat akun Twitter @mohmahfudmd miliknya.
Mahfud mengawali cuitannya dengan menyebut bahwa peristiwa pembunuhan Brigadir J adalah sebuah pembunuhan berencana yang kejam. Ia memuji pembuktian tim jaksa penuntut umum dan menilai tim pembela terlalu mendramatisir fakta. Mantan ketua Mahkamah Konstitusi RI itu juga menilai bahwa majelis hakim bertugas dengan baik, independen, dan tanpa beban dalam persidangan.
"Makanya vonisnya sesuai dengan rasa keadilan publik. Sambo dijatuhi hukuman mati," kata Ferdy.
Berbeda dengan Mahfud, Markas Besar Kepolisian yang menjadi institusi yang lama tempat Ferdy Sambo berkiprah memilih hati-hati bicara. Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol. Dedi Prasetyo tak banyak berkomentar saat ditanya wartawan. Ia menilai putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap Ferdy Sambo harus dihargai semua pihak.
Pengamat kepolisian Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto berpendapat putusan hukuman mati yang diterima Ferdy Sambo bukanlah prestasi Polri dalam penegakan hukum. Meski proses penyidikan secara prosedural harus melalui kepolisian ia justru melihat kuatnya tekanan dari institusi kepolisian untuk menutup kasus ini pada awal penyidikan.
Menurut Bambang, kasus kematian Brigadir J justru terbongkar karena ada desakan dari masyarakat. Setiap hari warganet merisak isu pembunuhan Brigadir J hingga akhirnya bergulir di pengadilan.
Di sisi lain, lanjut dia, harus ada evaluasi di internal terkait promosi jabatan maupun kepangkatan Polri lebih ketat, agar tak terulang munculnya ‘Ferdy Sambo’ yang lain.
"Seorang jenderal Polri yang seharusnya merupakan wujud hasil proses dari sistem di Polri, ternyata juga menghasilkan jenderal berperilaku jahat yang dijatuhi hukuman terberat yakni vonis mati," kata Bambang.
Sama halnya dengan Bambang, Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti berharap kasus pembunuhan berencana yang menjerat Ferdy Sambo menjadi momentum bagi institusi Polri untuk bersih-bersih dari anggota yang nakal. Ia meminta kepolisian serius melakukan reformasi agar penegakan hukum menjadi lebih baik sehingga kembali mendapat kepercayaan masyarakat.
Di luar urusan penegakan hukum, vonis mati Ferdy Sambo justru mendapat sorotan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang getol menyuarakan penghapusan hukuman mati. Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro berharap penerapan KUHP baru yang telah diundangkan pada akhir 2022 lalu dapat diterapkan oleh hakim yang menangani perkara serupa di kemudian hari.
Dalam KUHP baru itu meski masih masih mengakomodir, namun pidana mati tidak lagi dijadikan sebagai pidana pokok. Meski begitu, Atnika mengatakan Komnas HAM menghormati putusan yang telah dibuat hakim. Ia menyebut kejahatan yang dilakukan Ferdy Sambo merupakan kejahatan serius.
"Terlebih dengan menggunakan kewenangannya sebagai aparat penegak hukum," ujar Atnika.
Pembunuhan terhadap Brigadir J dilakukan Ferdy Sambo di rumah dinasnya di kawasan Duren Sawit Jakarta Selatan pada Jumat (8/7) tahun lalu. Hakim menyebut pembunuhan yang melibatkan istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi dan tiga anak buahnya yaitu Richard Eliezer Pudihang Lumia, Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf itu sudah direncanakan sehari sebelumnya.
Majelis hakim menjerat Ferdy Sambo dengan dua pasal berbeda. Dalam perkara pembunuhan Brigadir J, ia dinyatakan terbukti melanggar pasal KUHP Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sedangkan dalam perkara rekayasa pengusutan kasus ia dijerat pasal 49 juncto pasal 33 Undang-undang nomor 19 tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.