KPU dan Bawaslu Yakin Isu Tunda Pemilu 2024 Tak Mungkin Terlaksana
Komisi Pemilihan Umum (KPU) meyakini penyelenggaraan tahapan Pemilu 2024 akan berlangsung sesuai jadwal, tanpa adanya penundaan.
Menurut Komisioner KPU, Idham Holik, pihaknya percaya semua warga negara Indonesia baik yang di dalam dan luar negeri akan memberikan hak suara mereka pada 14 Februari 2024 nanti.
"Tahapan ini on the track," ujar Idham dalam diskusi OTW 2024, "Setahun Jelang Pemilu, Mata Rakyat Tertuju ke KPU dan Bawaslu" yang digelar lembaga survei Kedai Kopi di Jakarta, Minggu (19/2).
Menurutnya, tahapan Pemilu saat ini sudah berjalan, dan hingga 13 Maret 2023 nanti KPU sedang melakukan pemutakhiran data pemilih atau Pantarlih.
Selain itu, pihaknya juga sedang menggodok aturan untuk penerimaan calon legislatif dan calon Dewan Perwakilan daerah (DPD). Aturan ini mesti selesai sebelum KPU mengumumkan pembukaan masa pendaftaran pada 24 April 2023 nanti.
"Paling lambat sembilan bulan jelang pemungutan suara, KPU harus sudah menerima nama calon legislatif dari partai politik," kata Idham.
Proses tahapan Pemilu 2024 yang sudah berjalan hingga Februari ini juga meningkatkan keyakinannya, bahwa pemungutan suara akan berjalan sesuai rencana yang telah disepakati bersama antara Pemerintah, DPR, dan penyelenggara Pemilu.
Selain itu, amanat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), telah memberikan kepastian mengenai penyelenggaraan pemilu yang wajib diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
Idham menilai amanat yang jelas dalam konstitusi terkait pelaksanaan Pemilu lima tahun sekali, juga dapat menjadi pegangan untuk menghentikan isu penundaan Pemilu. "Demokrasi kita konstitusional," ujarnya.
Selain mengenai isu penundaan Pemilu 2024, Idham juga menjawab mengenai polemik sistem proporsional terbuka atau tertutup saat pemungutan suara. Idham memastikan, KPU masih mengacu kepada sistem proporsional terbuka, sesuai ketentuan Undang-undang Pemilu yang berlaku.
Sistem proporsional terbuka adalah sistem Pemilu di mana pemilih mencoblos langsung wakil legislatif dalam surat suara. Sedangkan pada sistem proporsional tertutup, pemilih memilih partai politik. Kemudian partai akan menentukan kader yang berhak menjadi anggota legislatif.
Pada kesempatan ini, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Rahmat Bagja, mengungkap tidak ada alasan bagi Indonesia untuk menunda pelaksanaan Pemilu 2024.
Dia menerangkan beberapa faktor yang dapat mendorong terjadinya penundaan Pemilu 2024, meliputi peristiwa luar biasa yang menyebabkan negara tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik, seperti halnya terjadi perang atau bencana alam yang terjadi dalam cakupan nasional.
"Kecuali terjadi overmacht atau daya paksa. Jadi terpaksa untuk berhenti, itu sulit," jelasnya.
Ketua Bawaslu pun memberikan contoh ketika penyelenggaraan Pilkada yang tetap berjalan di tengah masa pandemi.
Rahmat tidak menilai isu penundaan Pemilu 2024 sebagai sesuatu yang dapat dilakukan karena dijamin konstitusi. Dia lebih khawatir dengan uji materi mengenai sistem proporsional terbuka atau tertutup yang saat ini masih berjalan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Rahmat berharap keputusan MK nanti tidak mempengaruhi proses Pemilu 2024, tetapi berlaku untuk pelaksanaan pemilu selanjutnya. Sebab secara hukum, proses Pemilu 2024 sudah berjalan delapan bulan terakhir ini.
"Jangan sampai ada aturan berubah di tengah tahapan sedang dilakukan, ini sudah 8 bulan, itu menimbulkan uncertainty, ketidakpastian," jelasnya.
Meski begitu, Rahmat menegaskan, bahwa harapannya bukan opini untuk mempengaruhi MK. "Kekuasaan lembaga yudikatif memiliki kemandirian, apapun keputusan MK harus dilakukan. Kami tidak boleh protes," ungkapnya.
Polemik soal sistem pemilu bergulir setelah gugatan dengan Nomor perkara 114/PUU-XX/2022 soal pengujian materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Gugatan uji materiil UU Pemilu soal sistem proporsional terbuka ini diajukan ke MK akhir November 2022. Salah satu pemohon perkara adalah pengurus PDIP Demas Brian Wicaksono. Selain itu, pemohon juga terdiri atas lima warga sipil, yakni Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono.