Mahfud Beberkan Data di Balik Transaksi Janggal PNS Kemenkeu Rp 349 T
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membeberkan rincian terkait data transaksi mencurigakan dugaan pencucian uang Rp 349 triliun yang diantaranya melibatkan pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) . Klaim Menteri Keuangan Sri Mulyani jauh lebih kecil dari laporan yang dipaparkan PPATK dan Menko Polhukam Mahfud MD dalam rapat dengan Komisi III DPR Rabu (29/3) sore ini.
"Jumlah Rp 349 triliun itu fix, nanti kita tunjukkan surat-suratnya (yang dikirim ke Kemenkeu)," kata Mahfud.
Mahfud menyebut transaksi mencurigakan Rp 349 triliun tersebut termuat dalam 300 laporan hasil analisis (LHA) PPATK yang dikirim ke tiga entitas. Surat sebanyak 200 LHA dikirim kepada Kemenkeu, satu kepada kementerian atau lembaga, dan 99 kepada aparat penegak hukum (APH).
Nilai transaksi tersebut merupakan akumulasi selama 2009-2023 dan merupakan nilai agregat. Ia kemudian membagi nilai transaksi tersebut menjadi tiga kategori.
Pertama, transkasi keuangan mencurigakan pegawai Kemenkeu senilai Rp 35,5 triliun. Jumlah PNS Kemenkeu yang terlibat mencapai 461 orang, serta 11 ASN kementerian atau lembaga lain dan 294 entitas non ASN.
Kedua, transaksi keuangan memcurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain sebesar Rp 53,8 triliun. Jumlah anak buah Sri Mulyani yang diduga terlibat sebanyak 30 orang, dengan dua ASN dari K/L lain dan 54 entitas non ASN.
Ketiga, transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal dan TPPU namun belum diperoleh data keterlibatan pegawai Kemenkeu. Nilainya mencapai Rp 260,5 triliun yang melibatkan 222 entitas non ASN.
"Berapa yang terlibat? Jumlah entitas itu dari Kemenkeu itu 491 orang," kata Mahfud.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana yang hadir dalam rapat itu juga menjelaskan perbedaan antara klaim Sri Mulyani sebelumnya soal transaksi mencurigakan pegawai Kemenkeu hanya Rp 3,3 triliun dengan data PPATK yang berkali lipat lebih besar yakni Rp 35,5 triliun seperti pada kategori pertama. Klaim Sri Mulyani itu disampaikan dalam rapat dengan Komisi XI awal pekan ini.
Ivan menjelaskan, transaksi mencurigakan Rp 35,5 triliun tersebut tak hanya transaksi oknum pribadi, tetapi juga perusahaan yang diduga terafiliasi oknum pegawai. Ia mencontohkan, dalam beberapa surat yang dilaporkan ke Kemenkeu, ditemukan ada satu oknum yang memiliki afiliasi dengan lima hingga delapan perusahaan. Sehingga akumulasi transaksi Rp 35,5 triliun itu termasuk transaksi dari perusahaan cangkang.
Menurutnya, transaksi perusahaan itu perlu dihitung dan tak bisa dipisahkan karena beberapa temuan, perusahaan itu didaftarakan dengan nama istri, anak, hingga tukang kebun oknum pegawai. Namun, Ivan menyebut dalam paparan Sri Mulyani di Komisi XI lalu, Menkeu memisahkan antara bagian yang menjadi transaksi oknum pegawainya dan bagian perusahan.
"Sehingga angka Rp 35 triliun itu setelah dikeluarkan entitas perusahaan menjadi Rp 22 triliun, lalu dikeluarkan lagi dari yang ada Kemenkeu, maka menjadi Rp 3,3 triliun. Kemudian ramai bahwa PPATK salah dan sebagainya," kata Ivan.
Ivan menilai, tak bisa memisahkan antara transaksi yang dilakukan oleh oknum saja dan transaksi yang dilakukan oleh entitas perusahaan. Hal ini berkaitan dengan modus pencucian uang yang kata dia selalu menggunakan proxy crime alias memakai tangan atau akun orang lain, termasuk entitas perusahan tersebut.
Sri Mulyani dalam rapat Komisi XI awal pekan ini mengatakan telah menerima 135 surat dari PPATK terkait laporan transaksi korporasi dan pegawai Kemenkeu yang nilainya Rp 22 triliun. Sebanyak Rp 3,3 triliun yang kemudian disebut murni berkaitan dengan anak buahnya.
Sisanya, Rp 18,7 triliun merupakan transaksi debit kredit operasional dari perusahaan yang sempat diduga terafiliasi dengan pegawai Kemenkeu. Saat itu, kata Sri Mulyani, Insepktorat Jenderal Kemenkeu meminta PPATK menyelidiki sejunlah pegawainya yang dicurigai mendapat aliran dana dari sejumlah perusahaan. Catatan transaksi dari perusahaan itulah yang terakumulasi Rp 18,7 triliun.
"Tetapi ternyata tidak ada aliran dana ke pegawai yang sedang diinvestigasi maupun keluarganya. Namun tetap kami melakukan hukuman disiplin karena Itjen menemukan pelanggaran lain karena menerima fasilitas dari wajib pajak lain," kata Sri Mulyani, Senin (27/3).