Mahfud: Pemerintah Tidak Minta Maaf Soal Pelanggaran HAM Masa Lalu
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menekankan pemerintah tidak meminta maaf terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia berat masa lalu. Ia menyebut pemerintah pada posisi mengakui adanya pelanggaran yang terjadi dan siap melakukan penyelesaian non yudisial.
Secara sederhana, Mahfud menyampaikan pemerintah akan fokus melakukan penyelesaian terhadap korban dan bukan pada pelaku. Oleh karena itu, ia menyebut pemerintah tidak akan mencari pelaku terkait 12 pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Pemerintah mengakui bahwa peristiwa itu memang terjadi dan pemerintah menyesali terjadinya peristiwa itu," kata Mahfud di Istana Kepresidenan, Selasa (2/5).
Mahfud mencontohkan penyelesaian non-yudisial tidak akan mengubah Ketetapan MPRS No. 25-1966 tentang Pembubaran partai Komunis Indonesia. Akan tetapi, Mahfud menyampaikan pemerintah akan memperbaiki status korban peristiwa G30S dalam waktu dekat.
Salah satu korban yang dimaksud Mahfud adalah warga negara yang diasingkan ke luar negeri karena berhubungan dengan PKI. Mahfud mencatat banyak orang yang tidak terlibat dalam G30S tapi tidak bisa kembali ke dalam negeri karena disekolahkan oleh PKI.
Mahfud mencatat salah satu warga negara sempat menjadi korban G30S adalah Presiden BJ Habibie. Mahfud menceritakan Presiden Habibie mulai sekolah di Jerman pada 1960 dan berhasil meraih gelar doktor pada 1965.
Setelah selesai sekolah, Habibie tidak bisa langsung kembali ke Indonesia karena lulus setelah peristiwa G30S. "Beliau termasuk orang yang semula tidak boleh pulang," kata Mahfud.
Pada 1974, Presiden Habibie bertemu dengan Presiden Soeharto di Jerman. Mahfud menilai kedua Kepala Negara tersebut saling mengenal. Saat bertemu, Habibie menceritakan kondisinya kepada Soeharto.
Alhasil, Habibie dibawa pulang oleh Soeharto ke Indonesia. "Jadilah dia orang besar yang kemudian jadi presiden. Korban yang seperti ini, orang yang bukan terlibat G30S, sekarang masih ada di luar negeri," ujar Mahfud.
Mahfud mencatat setidaknya masih ada 39 orang yang tidak seberuntung Habibie. Menurutnya, puluhan orang tersebut kini tidak memiliki aset di Indonesia dan hidup di luar negeri, seperti Ceko, Kroasia, Cina, dan Belanda.
Mahfud menyampaikan para korban telah beberapa kali diundang kembali ke Indonesia sejak zaman Presiden Gus Dur, namun kerap ditolak. Mahfud mengatakan para korban kini hanya ingin agar negara mengakui mereka sebagai bukan pengkhianat negara.
"Mereka sudah tidak punya keluarga di sini, asetnya sudah habis, mereka sudah kawin di sana. Mereka ini hanya ingin dinyatakan bukan pengkhianat. Bahwa mereka belajar dan disekolahkan secara sah oleh negara," kata Mahfud.
Mahfud mengatakan Presiden Joko Widodo akan meluncurkan upaya Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Non Yudisial pada Juni 2023 di DI Aceh. Menurutnya, Kepala Negara akan memulai peluncuran tersebut di tiga titik, yakni Kecamatan Simpang Tiga, Rumoh Geudong, dan Desa Jambo Keupok.
Mahfud berpendapat bentuk peluncuran tersebut adalah peresmian tanam belajar atau living park tentang HAM di masing-masing titik tersebut. Selain itu, Presiden Jokowi direncanakan mengumumkan 39 nama yang menjadi korban pelanggaran HAM Berat masa lalu yang kini hidup di luar negeri.