Program Kartu Prakerja jadi Pembahasan di Rangkaian Sidang PBB
Program Kartu Prakerja menjadi pembahasan dalam rangkaian sidang tahunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Program yang dirilis pada 2020 ini dinilai mendukung pendidikan sepanjang hayat atau lifelong learning yang dianggap sebagai solusi mengatasi masalah ketenagakerjaan yang semakin kritis, terutama akibat dampak disrupsi teknologi.
Adapun program Prakerja dibahas dalam side event bertema "Skilling, Reskilling and Upskilling for a Resilient Workforce". Side event ini diselenggarakan Program Kartu Prakerja bekerja sama dengan Pemerintah Laos dan Filipina, serta berkolaborasi dengan the UNESCO Institute for Lifelong Learning (UIL), the International Council for Adult Education (ICAE), dan Asia South Pacific Association For Basic And Education (ASPBAE).
Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Tri Tharyat menjelaskan, program prakerja turut berkontribusi pada percepatan pencapaian salah satu tujuan SDGs. "Sesuai dengan SDG 4 tentang pendidikan berkualitas dan SDG8 tentang pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan yang layak," ujar Tri dalam side event yang digelar di markas PBB New York, awal pekan ini, seperti dikutip dari siaran pers.
Ia menjelaskan, program Prakerja terbukti mengurangi pengangguran hingga meningkatkan perlindungan sosial dengan memanfaatkan teknologi digital. Menurut dia, setidaknya terdapat 5 juta orang yang mendapatkan manfaat dari program ini setiap tahunnya.
Tri menjelaskan, program yang diluncurkan pada 2020 ini merupakan kolaborasi antara pemerintah dan swasta. Ia menekankan, kolaborasi ini sangat penting dalam membuat pogram pelatihan kerja yang berkualitas tinggi.
Wakil Presiden Korporat Microsoft Philanthropies Kate Behncken dalam panel yang sama mengaku sangat gembira dapat bekerja sama dengan Prakerja dalam memberikan pembelajaran sepanjang hayat yang inklusif. Adapun Microsoft dan Prakerja telah meluncurkan program "Talenta" yang bertujuan untuk memberikan pendidikan terkait kecerdasan buatan, keterampilan data, dan keterampilan kritis terkait keamanan siber.
“Saya terkesan dengan program ini, (karena) jangkauannya dan dampak yang dihasilkannya. Program ini bertujuan membantu Indonesia untuk tetap bersaing dan beradaptasi dengan lanskap digital yang terus berubah," ujar Kate.
Asisten Direktur Jenderal Pendidikan UNESCO Stefania Giannini menyebut, kecerdasan buatan atau artificial intelligence menjadi tantangan terbesar dalam dunia ketenagakerjaan. Ketidakmerataan mutu pendidikan, berpotensi membuat angkatan kerja tak siap menghadapi perubahan yang berlangsung cepat.
"Hari ini di seluruh dunia, ada 763 juta anak muda dan orang dewasa yang tidak melek huruf, dan dua per tiga di antaranya adalah perempuan. Banyak di antara mereka juga tidak melek literasi digital,” ujar Giannini.
Masih menjelaskan data yang sama, menurut dia, kurang dari 1% dari orang yang berusia di atas 15 tahun yang mendapatkan pelatihan.
Sementara itu, Direktur UNESCO Institute for Lifelong Learning, Borhene Chakroun mengatakan sebanyak 32% perempuan dan 15% anak muda berusia 15-24 di seluruh dunia masuk dalam kategori NEET (Not in Education, Employment, or Training). Padahal, menurut dia, penting untuk memperkuat literasi, khususnya dalam penggunaan teknologi.