5 Poin Pertimbangan MK Tolak Gugatan Buruh Soal UU Cipta Kerja

Ira Guslina Sufa
2 Oktober 2023, 17:40
Buruh membawa poster saat aksi jalan kaki di Jalan MH Thamrin menuju kawasan Monumen Nasional, Jakarta, Kamis (10/8/2023). CIpta kerja
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/Spt.
Buruh membawa poster saat aksi jalan kaki di Jalan MH Thamrin menuju kawasan Monumen Nasional, Jakarta, Kamis (10/8/2023). Aksi yang diikuti ribuan buruh dari Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB) dan Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) menuntut kenaikan upah minimum sebesar 15 persen tahun 2024, serta meminta pemerintah dan DPR mencabut UU Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan.

Mahkamah Konstitusi menolak gugatan yang diajukan oleh 15 federasi buruh dalam perkara nomor 40/PUU-XXI/2023. Gugatan itu berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. 

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman saat membacakan putusan mengatakan berdasarkan penilaian atas fakta yang diungkap di persidangan, mahkamah menilai pokok permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum. Meski begitu terdapat 4 hakim yang mengatakan dissenting opinion yaitu Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih dan Suhartoyo. Namun pendapat dari keempat hakim yang berbeda tidak dibacakan dalam sidang. 

 "Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Anwar membacakan putusan di Makhamah Konstitusi, Senin (2/10). 

Perkara nomor 40/PUU-XXI/2023 diajukan oleh konfederasi buruh pada  6 April 2023 dua pekan setelah Perppu Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-undang. DPR RI resmi mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja pada 21 Maret 2023.

Beberapa konfederasi buruh yang mengajukan gugatan antara lain Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, Pertambangan, Minyak, Gas Bumi, dan Umum (FSP KEP), Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa Bali (SP PJB), Federasi Serikat Pekerja Pariwisata Reformasi (FSP PAR), dan Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP TSK SPSI). 

Selain membacakan putusan untuk gugatan buruh, Mahkamah Konstitusi  juga membacakan putusan untuk 4 gugatan lainnya yang serupa. Gugatan itu tertuang dalam perkara 41/PUU-XXI/2023 yang diajukan Elly Rosita Silaban dan Dedi Hardianto dan gugatan 46/PUU-XXI/2023 yang diajukan Agus Ruli Ardiansyah, Mansuetus Alsy Hanu, dan Dewi Kartika. 

Dua gugatan lain tercatat dengan nomor 50/PUU-XXI/2023 yang diajukan Said Iqbal dan Ferri Nuzarli, dan perkara 54/PUU-XXI/2023 yang diajukan perseorangan. Meski diajukan pada waktu yang berbeda, kelima gugatan memiliki muatan yang hampir sama.

Dalam gugatannya para pemohon menyebut penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-undang menyalahi ketentuan karena melewati masa sidang sebagaimana tenggat waktu yang harus dipenuhi. Selain itu pengesahan perppu menjadi Undang-Undang dinilai tidak memenuhi unsur kemendesakan. 

Dalam putusannya, hakim MK menyatakan menolak dalil gugatan dari pemohon secara keseluruhan. Apa saja pertimbangannya? 

Presiden memiliki hak konstitusional menetapkan Perppu

Dalam pertimbangan yang dibacakan Hakim MK Manahan MP Sitompul disebutkan bahwa sebelum menyampaikan putusan Mahkamah telah melakukan sejumlah rangkaian termasuk dengan mendengarkan keterangan dari pemerintah dan legislatif. Sebelum sampai pada keputusan Manahan membacakan pandangan MK terhadap prasyarat penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang seperti yang dilayangkan Presiden kepada DPR. 

Dia menjelaskan dari keterangan sejumlah saksi MK menilai terdapat dualisme mengenai unsur kemendesakan di balik lahirnya Perppu Cipta Kerja. Meski begitu mahkamah memahami bahwa setiap tindakan dan kebijakan yang diambil pemerintahan harus memiliki landasan pada konstitusi. 

Sementara itu Manahan menyebut konstitusi memungkinkan presiden untuk menerbitkan perppu. “Meski demikian adanya prasyarat mutlak dalam penentuan perppu adalah adanya kegentingan yang memaksa,” ujar Manahan. 

Adapun batasan dalam penentuan kegentingan MK mengatakan sudah ditetapkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 bahwa unsur kegentingan harus meliputi tiga hal. Pertama adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan persoalan hukum secara cepat, kedua undang-undang yang dibutuhkan belum ada dan ketiga kekosongan hukum tak bisa diatasi dengan menunggu prosedur pembuatan UU seperti biasa. 

“Menurut Mahkamah dalam sebuah negara hukum segala bentuk tindakan pemerintahan harus berada dalam koridor hukum dan konstitusi dan menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi,” ujar Manahan. 

Halaman:
Reporter: Ade Rosman
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...