Deretan Kejanggalan Putusan MK Soal Capres yang Disorot di Sidang MKMK

Ira Guslina Sufa
7 November 2023, 09:40
MKMK
ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc.
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie (tengah), Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams (kiri), dan akademisi bidang hukum Bintan R. Saragih (kanan) bersiap melakukan sumpah jabatan pada pelantikan anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) di Jakarta, Selasa (24/10/2023).

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dijadwalkan akan membacakan putusan atas dugaan pelanggaran kode etik sembilan hakim. Hasil sidang etik hakim atas putusan Perkara Nomor 90/PPU/XXI/2023 tentang batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden akan disampaikan oleh ketua MKMK, Jimly Asshidique.

Merujuk laman resmi MK, pembacaan putusan akan berlangsung pukul 16.00 WIB. Putusan akan dibacakan untuk 21 laporan yang telah disampaikan oleh masyarakat dari berbagai kalangan. 

Putusan MK nomor 90 tentang batas usia capres dan cawapres menjadi perdebatan karena dinilai ada unsur kesengajaan untuk memuluskan langkah Wali Kota Surakarta Solo Gibran Rakabuming Raka maju dalam pilpres. Putusan itu membuat putra Presiden Joko Widodo yang baru berusia 36 tahun itu bisa melenggang di pilpres. 

Dalam pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu sebelum putusan MK disebutkan syarat minimal usia capres dan cawapres adalah 40 tahun. Adapun putusan MK menambahkan klausul bahwa syarat capres dan cawapres adalah minimal 40 tahun atau pernah/sedang menjabat kepala daerah.  

Mengenai putusan yang akan dibuat MKMK hari ini, sebelumnya Jimly menjelaskan bahwa ada potensi akan berdampak pada pendaftaran bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden. Jimly menekankan bahwa putusan MK terkait dengan syarat batas minimal usia capres dan cawapres harus dikawal melalui putusan MKMK agar adanya kepastian.

"Nanti tolong dilihat di putusan yang akan kami baca, termasuk jawaban atas tuntutan supaya putusan itu ada pengaruhnya terhadap putusan MK sehingga berpengaruh pada pendaftaran bakal pasangan calon presiden/wakil presiden," kata Jimly seperti dikutip Selasa (7/11). 

Jimly menyatakan putusan MKMK sangat mungkin akan berdampak terhadap pendaftaran bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden. Atas dasar pertimbangan itu pulalah makanya mahkamah memilih menjadwalkan putusan sebelum penetapan peserta pemilu presiden dan wakil presiden 13 November 2023. 

Menurut Jimly, dari 21 pelaporan yang diterima oleh MKMK  sebagian besar meminta agar putusan MKMK menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Meski begitu Jimly mengatakan putusan MKMK tak bisa berdampak langsung pada putusan MK. 

Sebelum sidang putusan hari ini, MKMK telah menggelar sidang terbuka yang menghadirkan pelapor dan sidang tertutup yang menghadirkan hakim MK. Para hakim dihadirkan dalam pemanggilan bersamaan dan ada pula yang dipanggil satu persatu. Adapun Ketua MK Anwar Usman menjalani dua kali pemeriksaan tunggal seiring dengan banyaknya laporan yang ditujukan atas nama Anwar. 

Berikut deretan fakta yang muncul selama sidang MKMK

Permohonan yang Dikabulkan MK Tak Dibubuhi Tanda Tangan

Sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang digelar Kamis (2/11) memunculkan fakta baru. Laporan yang dibuat Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) mengungkap permohonan uji materi Pasal 169 huruf q tentang Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 yang disampaikan Almas Tsaqibbirru dan telah dikabulkan oleh MK tidak dibubuhi tanda tangan pemohon dan kuasa hukum. 

 “Kami khawatir apabila dokumen ini tidak pernah ditandatangani sama sekali maka seharusnya dianggap tidak pernah ada perbaikan permohonan atau bahkan batal permohonannya," ujar  Ketua PBHI Julius Ibrani dalam sidang. 

Ia mengatakan tidak adanya tanda tangan dari Almas dan kuasa hukum ini akan mencederai nama baik MK.  Fakta itu diperoleh berdasar dokumen permohonan yang telah diunggah di situs MK. 

Permohonan Almas Pernah Dicabut 

Hal lain yang disorot PBHI adalah persoalan bahwa perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 bersama dengan perkara nomor 91/PUU-XXI/2023 pernah masuk dalam permintaan pencabutan meski kemudian perkara 90 tidak jadi dicabut. Namun menurut Julius status perkara bisa diperdebatkan lantaran perkara yang sudah dicabut seharusnya tidak bisa dibahas. 

Anwar Usman Turut Sidangkan Kasus 

Kejanggalan yang disorot hampir semua pelapor adalah permohonan yang diajukan Almas lantaran secara eksplisit menyebutkan nama Gibran Rakabuming Raka yang merupakan Wali Kota Surakarta dalam materi permohonan. Masuknya nama Gibran secara tidak langsung seharusnya juga membuat Ketua MK Anwar Usman tidak bisa turut menyidangkan lantaran memiliki hubungan kekeluargaan dengan Gibran. 

Para pelapor menilai kuat dugaan Anwar melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi,” ujar Julius.  Banyaknya laporan yang masuk mengenai status Anwar dibenarkan oleh Jimly. 

"Utamanya itu soal hakim tidak mengundurkan diri padahal dalam perkara yang dia punya kepentingan, perkara yang dia punya hubungan keluarga," kata Jimly.

MKMK Rangkum 11 Persoalan 

Secara keseluruhan, MKMK telah menerima 11 persoalan yang berkaitan dengan laporan etik hakim MK. Jimly mengatakan laporan pertama berkaitan dengan hubungan kekeluargaan Anwar Usman dengan Gibran yang masuk dalam materi laporan. 

Perkara kedua kata Jimly berkaitan dengan hakim konstitusi yang dinilai berbicara di ruang publik dengan materi yang tepat. Ia menyebut ada laporan soal pimpinan MK yang berbicara di ruang publik terkait substansi materi perkara yang sedang diperiksa.

Laporan ketiga menurut Jimly berkaitan dengan hakim MK yang mengungkapkan dissenting opinion atau perbedaan pendapat terkait substansi materi perkara yang sedang diperiksa. Dalam putusan MK mengenai batas usia capres dan cawapres dissenting opinion diberikan oleh empat hakim MK yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.

"Jadi dissenting opinion itu kan perbedaan pendapat tentang substansi, tapi di dalamnya juga ada keluh kesah yang menggambarkan ada masalah dalam mekanisme pengambilan keputusan. Padahal itu adalah internal, " ujar Jimly.

Jimly melanjutkan, persoalan keempat yang dilaporkan berkaitan dengan hakim konstitusi juga dianggap melanggar kode etik karena membicarakan permasalahan internal ke pihak luar. Situasi ini menurut Jimly dapat menimbulkan ketidakpercayaan pada MK.

Persoalan lain yang menurut Jimly juga menjadi sorotan publik adalah adanya dugaan hakim konstitusi yang melanggar prosedur registrasi yang diduga atas perintah hakim MK. "(Keenam) ada juga (laporan) soal pembentukan MKMK. (Dianggap) lambat padahal sudah di diperintahkan oleh undang-undang," kata Jimly.

Selanjutnya, pada laporan ketujuh, hakim konstitusi juga dilaporkan karena mekanisme pengambilan keputusan yang dinilai kacau. Selanjutnya adalah hakim MK dinilai dijadikan sebagai alat politik praktis.

Jimly mengatakan, pada persoalan kesembilan, hakim konstitusi juga dilaporkan karena terdapat permasalahan internal yang diketahui oleh pihak luar. "Kan nggak boleh yang rahasia kok ketahuan kayak CCTV," kata Jimly.

Persoalan kesepuluh hakim konstitusi diduga melakukan kebohongan terkait ketidakhadirannya dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) Perkara Nomor 29, 51 dan 55 yang berkaitan dengan pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu. Jimly menegaskan bahwa pemeriksaan terhadap Hakim MK bertujuan untuk memulihkan kepercayaan publik pada MK.

Adapun perkara kesebalas berkaitan dengan pembiaran memutus perkara yang diduga berkaitan dengan kepentingan anggota keluarga hakim. Menurut Jimly persoalan terakhir ini membuat sembilan hakim MK berpotensi melanggar kode etik karena membiarkan institusi itu memutus perkara dengan keliru. 

"Sehingga sembilan hakim MK itu dituduh, semua melanggar (kode etik) karena membiarkan itu. Makanya kita tanyakan satu-satu, ya masing-masing punya alasan," kata Jimly 

Jimly berharap putusan yang akan dibuat MKMK menjadi langkah terbaik untuk menemukan solusi yang adil dan berkeadilan. Adapun pembacaan laporan dipercepat sesuai dengan permintaan pelapor pertama, untuk menyesuaikan dengan jadwal penetapan capres dan cawapres KPU.

Apabila hakim MK terbukti melanggar kode etik, putusan hakim MK tersebut bisa batal. Hal itu lantaran putusan bisa saja disangkutpautkan dengan proses pendaftaran capres dan cawapres yang didasarkan pada putusan itu.

Reporter: Antara

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...