Ganjar Kritik Rendahnya Rasio Pajak Era Jokowi, Tawarkan Solusi Ini
Calon presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo mengkritik kinerja penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto atau tax ratio yang rendah di era Presiden Joko Widodo yakni berada di bawah 10%. Menurutnya, penghimpunan pajak dengan strategi intensifikasi yang selama ini dijalankan pemerintah menjadi akar rendahnya tax ratio.
Ganjar menilai intensifikasi melalui strategi penagihan pajak saat ini justru menimbulkan kecemasan di masyarakat, khususnya pengusaha. Pengusaha khawatir dimanfaatkan sebagai objek pajak yang terus menerus ditagih.
"Untuk urusan pajak, jangan berburu di kebun binatan dan jangan memancing di kolam. Para pengusaha takut disembelih atau jadi objek pajak uang ditembak berkali-kali," kata Ganjar dalam Dialog Capres bersama Asosiasi Pengusaha Indonesia, Senin (11/12).
Ganjar mengusulkan, perubahan sistem penerimaan pajak menjadi ekstensifikasi melalui digitalisasi. Ia inginmenambah wajib pajak yang membayar pajak dengan menggunakan teknologi digital.
Salah satu cara yang juga ditawarkan Ganjar adalah penyederhanaan jenis pajak dan mengoptimalkan data kependudukan. Menurutnya, pemerintah dapat meningkatkan pendapatan pajak dengan menagih masyarakat yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak atau NPWP.
Selain itu, Ganjar juga menawarkan agar Direktur Jenderal Pajak menjadi lembaga terpisah dari Kementerian Keuangan. Lembaga tersebut nantinya akan melaporkan performanya langsung ke presiden.
Ia juga menargetkan rezim pajak yang serupa dengan Singapura jika memenangkan Pilpres 2024. Menurutnya, rezim tersebut dapat diraih jika aktor dalam pemerintahan memiliki sikap profesional dan relasi yang sejajar dengan masyarakat.
Ganjar menyampaikan orang-orang yang ditunjuk untuk membenahi pajak harus memiliki kepribadian yang serupa dengan Mantan Kapolri Hoegeng Iman Santoso. Dengan kata lain, aktor tersebut memiliki keluarga yang sederhana, menerima jabatannya sebagai amanah, dan tidak memanfaatkan jabatan.
"Jadi, pemerintahan itu betul-betul dipegang tegak, sehingga ada etik yang kalau dilanggar berbahaya. Kalau rezim pajak nasional mau dibikin seperti di Singapura dan faktor-faktor eksternalnya bisa diperbaiki, isu penerimaan pajak beres," ujarnya.
Kemenkeu mencatat realisasi penerimaan pajak hingga Oktober 2023 mencapai Rp 1.523,7 triliun atau 88,6% dari target yang ditetapkan pada APBN 2023. Penerimaan pajak tersebut hanya tumbuh 5,3%, atau tidak setinggi Oktober tahun lalu sebesar 51,7%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya berharap, kinerja APBN 2023 tetap sesuai rencana dan akan memberikan kepercayaan bagi pemerintah untuk menjaga ekonomi dan manajemen kebijakan makro maupun arah kebijakan APBN.
"Ini yang menjadi salah satu anchor atau jangkar stabilitas yang memang dilihat oleh banyak sekali investor terhadap perekonomian kita,” kata Menkeu.