SKK Migas Minta Inpex Percepat Pembebasan Lahan Proyek Abadi Masela
Inpex Masela Ltd menyiapkan sejumlah perencanaan pada 2024 mulai dari melanjutkan pembebasan lahan non hutan hingga persetujuan analisis dampak lingkungan atau AMDAL. Acting of Executive Director Inpex Masela Jakarta Henry Banjarnahor mengatakan perencanaan juga meliputi pelaksanaan survey feed onshore dan offshore dan feed tender dan commencement.
Menurut Henry, pembangunan awal proyek akan dimulai pada 2025 termasuk pembersihan akses jalan menuju lokasi hingga pemagaran. Henry menjelaskan pembebasan lahan bagi Proyek Abadi Masela ini dibedakan menjadi dua yakni area non hutan yang akan dilaksanakan pada 2024. Sedangkan area hutan dimulai pada 2025.
“Kemudian enjiniring lainnya perlu didorong supaya target kami dapat tercapai dan kelanjutan komersial bisa digapai untuk kelanjutan proyek ini,” kata Henry saat acara Kick Off Project Management Team Proyek LNG Abadi Masela di Jakarta pada Kamis (28/12).
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto memberi tanggapan terkait perencanaan tersebut. Dwi menjelaskan, Proyek Lapangan Abadi ini sudah masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Atas alasan itu ia menilai jangka waktu proses akuisisi yang memakan waktu dua tahun dianggapnya terlalu lama.
Dwi meminta Inpex untuk mempercepat proses pembebasan lahan dalam proyek ini. “Kalau seandainya itu bisa diakselerasi dan selesai pada 2024 betapa besar pengaruhnya kelonggaran waktu kita untuk urusan yang lain,” jelas Dwi.
Sebelumnya proyek lapangan abadi ditargetkan dapat mencapai keputusan akhir investasi (FID) pada 2026. Proyek diproyeksikan mulai berproduksi pada kuartal IV 2029 dan memulai pengiriman kargo LNG pertama mereka pada 2030.
“Hampir semua proyek migas mengalami kemunduran. Kami harapkan bisa percepat prosesnya sehingga tidak mengalami kerugian,” jelas Dwi.
Di sisi lain Dwi mengatakan sejumlah kerugian akan dialami apabila Proyek Abadi Masela tidak dapat berproduksi tepat waktu. Kerugian itu menurut dia bisa mengenai segala lini.
“Kerugian secara finance, dari sisi revenue kita akan kehilangan US$ 5 miliar atau Rp 77 triliun per tahunnya,” kata Dwi
Selain revenue, Dwi menyebut dari sisi belanja modal atau capex keterlambatan proyek juga bisa menyebabkan adanya tambahan biaya per tahunnya yang mencapai US$ 1 miliar. Dengan begitu total kerugian yang diderita mencapai Rp 90 triliun per tahun.