Analisis Pakar AS, Khawatirkan Demokrasi RI Bila Prabowo Jadi Presiden
Pakar Kajian Politik dan Keamanan Internasional dari Universitas Murdoch, Ian Wilson mengkhawatirkan terpilihnya Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia dalam Pilpres 2024 akan meniadakan sistem Pemilu demokratis di Indonesia.
Wilson mengatakan sejak lama Prabowo dan Partai Gerindra menolak sistem liberal-demokratis yang berjalan sejak Reformasi di Indonesia setelah lengsernya Suharto pada 1998.
Dalam tulisan opini bertajuk 'An Election to End All Elections?', Wilson menyebutkan, bahwa Partai Gerindra yang dipimpin oleh Prabowo berada di spektrum politik sayap kanan nasionalis.
"Gerindra menganjurkan kembalinya sistem berdasarkan UUD 1945 asli dengan membatalkan amandemen konstitusi yang mendukung pemilu demokratis, perlindungan hak asasi manusia, dan batasan masa jabatan presiden," kata Wilson dalam tulisannya, dikutip Kamis (1/2).
Wilson menjelaskan, pada akhir 2014, setelah Prabowo kalah dalam pencalonan pertamanya sebagai presiden, ia memimpin koalisi parlemen multi-partai yang mengesahkan RUU Pemilu. Mereka berupaya mengembalikan, meskipun untuk sementara, situasi sebelum 2005 yang memungkinkan penunjukan kepala daerah, termasuk gubernur oleh parlemen.
Setelah mendapat reaksi keras dari masyarakat, intervensi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasil memulihkan pemilu langsung. SBY, pada bulan-bulan terakhir masa jabatannya, mengeluarkan dua dekrit yang membatalkan upaya kudeta legislatif tersebut.
Tanda Bahaya Demokrasi Indonesia: Adanya Upaya untuk Mengilangkan Pemilu Langsung
Wilson mengatakan intrik elit politik untuk memperpanjang batas masa jabatan presiden dan mengurangi pemilihan langsung merupakan upaya mengikis demokrasi pasca-reformasi.
Hal ini diperburuk dengan ambisi Jokowi yang hendak melanggengkan warisannya. Dia menyebutkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menyerukan agar MPR diangkat kembali sebagai lembaga eksekutif tertinggi negara pada 2023.
Ketua DPD La Nyalla Mattalitti, berpendapat bahwa pemilihan presiden langsung telah menghancurkan kohesi nasional, dan harus digantikan dengan pemilihan presiden secara tidak langsung oleh anggota MPR, seperti yang dilakukan di era Orde Baru.
Lebih langjut, Wilson mengatakan, Prabowo memberikan jaminan atas komitmennya terhadap demokrasi. Meski ia menyebut demokrasi yang ada saat ini masih memiliki banyak kekurangan.
Wilson mengatakan meski mantan Pangkostrad tak menampakkan gaya otokratis pada Pemilu 2024, bukan berarti berubah sikap. Pilihan gaya yang populis untuk membuat banyak orang menerimanya dan menghindari kritik.
"Hal ini tidak berarti bahwa Prabowo telah meninggalkan tujuan ideologisnya yang lebih luas, namun ia kembali mengkalibrasi ulang strateginya, menggunakan cara yang berbeda untuk mencapai tujuan yang sama," kata Wilson.
Wilson memandang, jika Prabowo terpilih sebagai Presiden RI, maka pemerintahannya akan memperluas pendekatan 'tanpa oposisi', yang dibingkai kiasan nasionalis yang menjaga persatuan. Logika dari pendekatan ini, adalah menghilangkan oposisi di parlemen (DPR), dan membatasi munculnya basis kekuatan yang saling bersaing. Pendekatan semacam ini, dilakukan pula oleh Presiden Joko Widodo.
Pendekatan seperti ini tidak dilakukan dengan represi terang-terangan, tapi dengan kooptasi ke dalam koalisi besar yang berkuasa, yang dikelola melalui negosiasi dan kesepakatan antar elit. Prabowo sendiri mengatakan bahwa ia bermaksud untuk melibatkan “semua pihak” dalam pemerintahan di masa depan.
Hal ini mirip dengan model yang berbasis “musyawarah” integralis, seperti yang diharapkan dalam UUD 1945, dan berfungsi untuk lebih memperkuat kekuasaan eksekutif.
Lebih lanjut, Wilson mengatakan dalam skenario seperti ini, proses inti demokrasi seperti Pemilu dapat dipertahankan, meskipun dalam skala yang lebih kecil. Namun, potensinya untuk menghasilkan perubahan substantif sebagian besar hilang. Proses-proses tersebut dipertahankan agar masyarakat dapat memberikan legitimasi terhadap status quo.
"Jika Prabowo dapat mempertahankan popularitasnya seperti yang dilakukan Jokowi, ia mungkin akan merasa berani untuk menunjukkan kekuatan otoriternya dan sekali lagi mendorong pembatalan amandemen konstitusi pasca 1999 dan diakhirinya pemilihan langsung," kata Wilson.
Reporter: Risma Kholiq (Magang)