Pengamat: PKS Berpeluang Duet dengan PDIP Menjadi Oposisi Usai Pemilu
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menilai ada kemungkinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bakal menjadi oposisi usai Pemilu 2024.
Menurut Ujang, PKS paling mungkin menjadi oposisi dari tiga partai yang bergabung dengan Koalisi Perubahan. Oleh sebab itu ada kemungkinan PKS berduet dengan PDIP yang sudah lebih dahulu menyatakan akan menjadi oposisi.
“Menurut saya lebih baik PKS bergabung ke PDIP sebagai oposisi, seandainya Nasdem (Nasional Demokrat) serta PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) masuk ke pemerintahan,” kata Ujang melalui pesan suara kepada Katadata, Senin (19/2).
Koalisi ini menurutnya penting karena pemerintahan yang baik harus berbasis check and balance. Tidak baik bila pemerintah menggaet terlalu banyak pihak sementara oposisi lebih kecil.
Kendati demikian, sejauh ini tidak banyak partai yang ingin menjadi oposisi. Kata Ujang, ini karena pemerintah kerap ‘mengerjai’ partai oposisi, seperti mengungkit kasus hukumnya.
“Saya lihat daya tahan PDIP untuk oposisi cukup tinggi, dua periode Susilo Bambang Yudhoyono menjadi oposisi. PKS juga kemarin oposisi di dua periode,” ujarnya.
Adapun ada hal lain yang bisa mengurungkan arah PKS menjadi oposisi. Ujang bilang, partai berwarna oranye ini pernah punya sejarah dengan Prabowo, yakni sebagai partai pengusung Prabowo dalam Pemilu 2019
Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, sudah menegaskan pihaknya siap menjadi oposisi pemerintah di periode mendatang. Ini ia ucapkan merespon unggulnya paslon nomor urut dua, Prabowo-Gibran di hitung cepat Pilpres 2024. Keputusan ini juga berdasar pengalaman PDIP menjadi oposisi di dua periode.
“Ketika PDI Perjuangan berada di luar pemerintahan tahun 2004 dan 2009, kami banyak diapresiasi karena peran serta meningkatkan kualitas demokrasi. Bahkan, tugas di luar pemerintahan, suatu tugas yang patriotik bagi pembelaan kepentingan rakyat itu sendiri," kata Hasto dalam keterangan tertulis, Kamis (15/2).
Berkaca pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Hasto menyatakan kekuasaan yang terpusat memunculkan kemampuan untuk melakukan manipulasi. Sehingga, kata Hasto, kekuasaan dan kritik dalam konteks kebijakan dan implementasinya membutuhkan keberimbangan.
Ia menggambarkan, pada Pemilu 2009 terjadi manipulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT), sehingga DPR membentuk hak angket. Ia menyebut, ketika itu muncul kesadaran perlindungan hak konstitusional warga negara untuk memilih.
Hal tersebut, menurut Hasto terjadi lagi pada Pemilu 2024. Lebih jauh Hasto mengatakan banyak pemilih di luar negeri tidak bisa melaksanakan hak pilihnya karena faktor teknis administratif, sehingga perlawanan ini menyangkut hal yang fundamental.