Zainal Arifin: Putusan MK Soal Pilkada Mengikat, Tak Bisa Diubah DPR

Ira Guslina Sufa
21 Agustus 2024, 14:44
MK
ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Saksi ahli dari pemohon Zainal Arifin Mochtar memberikan keterangan dalam sidang uji formil UU KPK di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (19/2/2020).
Button AI Summarize

Pakar hukum tata negara dari Universitas Gajah Mada Zainal Arifin Mochtar mengatakan putusan mengenai perubahan ambang batas untuk pencalonan kepala daerah yang diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (21/8) bersifat mengikat. Ia menyebut Dewan Perwakilan putusan itu tak bisa diubah begitu saja oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 

“MK adalah penafsir konstitusi yang mengikat maka harus diikuti. Ketika dipaksa untuk tidak diikuti itu sama dengan mengangkangi putusan konstitusi,” ujar Zainal saat dihubungi, Rabu (21/8). 

Menurut Zainal keputusan mengenai ambang batas pencalonan kepala daerah yang telah diputuskan oleh MK merupakan keputusan hukum yang bersifat final. Ditambah lagi keputusan berkaitan dengan syarat pencalonan kepala daerah yang ditetapkan MK telah memberi ruang demokrasi yang lebih luas kepada masyarakat. 

Zainal menilai berbagai upaya yang dilakukan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengubah putusan yang telah ditetapkan MK tidak tepat. Apalagi menurut dia dalam konsep negara hukum, MK merupakan lembaga yang menjadi penafsir konstitusi. Sementara DPR menurut dia tidak punya kewenangan untuk menafsir Undang-Undang. 

Di sisi lain, Zainal mempertanyakan alasan DPR melakukan revisi UU Pilkada menjelang berakhirnya tahapan pilkada. Menurut Zainal bila pun terpaksa dilakukan revisi maka harus diarahkan untuk memperbaiki beberapa aturan yang belum detail dan tidak untuk mengubah putusan MK. 

Ia menilai putusan yang sudah dibuat MK merupakan angin segar dalam perbaikan demokrasi. Selama ini ia melihat terdapat diskriminasi lantaran partai harus memenuhi syarat yang besar untuk bisa mengusulkan calon dan lebih sulit dibanding calon independen. Ia pun menilai selama ini persyaratan untuk mengajukan calon merugikan partai yang memiliki kursi di DPRD tetapi tidak memiliki mitra untuk berkoalisi. 

Menurut Zainal, putusan yang dibuat MK merupakan angin segar demokrasi lantaran menghapuskan diskriminasi yang selama ini ada dalam Pilkada terutama untuk calon independen. Pembatasan suara minimal 25% untuk bisa mengusulkan calon kepala daerah juga membuat partai yang tidak memiliki kursi di DPRD kehilangan hak untuk mengusulkan calon kepala daerah. 

Hambat Demokrasi

Dalam catatan Zainal, praktik pencalonan di Pilkada selama ini menyuburkan terbentuknya koalisi gemuk di Pilkada. Hal itu membuat adanya praktik untuk menyiapkan calon bayangan agar pilkada tetap berjalan. Selain itu juga muncul fenomena adanya kotak kosong untuk melawan pasangan calon yang diusung koalisi partai seperti yang terjadi di pemilihan kepala daerah Surakarta pada 2020. 

“Saya kira putusan MK mengakhiri itu dan meredam fenomena kotak kosong dan borong partai. Itu sebabnya saya kira putusan ini bagus,” ujar Zainal lagi. 

Di sisi lain ia mengkritisi rencana Baleg yang ingin merevisi UU Pilkada setelah adanya putusan MK. Ia mengingatkan agar revisi yang bergulir tidak diarahkan untuk mengubah putusan yang sudah baik untuk demokrasi. Ia pun mendukung apabila revisi dilakukan untuk memperjelas aturan yang belum detail seperti mengenai ketentuan apakah mantan kepala daerah bisa mencalonkan diri untuk posisi lain. 

“Revisi jangan merusak sesuatu yang sudah dibuat baik menjadi mundur menjadi kemunduran demokrasi,” ujar Zainal. 

Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti mengatakan rapat yang digelar Baleg bisa saja digunakan untuk memberi penafsiran berbeda atas putusan yang dibuat MK.  Hal itu dilakukan untuk mengamankan tiket pilkada di sejumlah daerah. 

"Padahal saya sudah baca putusannya dan teman-teman kalau mau baca putusannya bisa di download jelasnya luar biasa putusan itu tidak bisa ditafsirkan berbeda," ujar Bivitri seperti dikutip, Rabu (21/8). 

Adapun, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan terbaru yang mengatur syarat pencalonan kepala daerah di pemilihan kepala daerah. Dalam putusan perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 yang dibacakan Selasa (20/8) MK menetapkan syarat baru dalam pengajuan calon kepala daerah.

Gugatan mengenai syarat pencalonan diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora terhadap UU Pilkada. Kedua partai meminta agar MK menyatakan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada inkonstitusional karena membatasi hak partai yang tidak memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mengusulkan calon di Pilkada. 

Adapun Baleg diagendakan menggelar tiga agenda rapat pada Rabu (21/8). Pada pukul 10.00 WIB, agenda Rapat Kerja dengan Pemerintah dan DPD terkait pembahasan RUU tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang. Kemudian, rapat dilanjutkan pada pukul 13.00 WIB dengan agenda pembahasan RUU Pilkada di tingkat panitia kerja (Panja).

Lalu, pada pukul 19.00 WIB, Baleg DPR mengagendakan rapat kerja dengan pemerintah dan DPD terkait pengambilan keputusan atas hasil pembahasan RUU Pilkada. Rapat baleg ini ditenggarai sengaja dibuat untuk menganulir putusan MK soal ambang batas Pilkada. 

Reporter: Ade Rosman, Muhamad Fajar Riyandanu

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...