Anies soal DPR Anulir Putusan MK: Demokrasi Indonesia di Persimpangan

Yuliawati
Oleh Yuliawati
21 Agustus 2024, 17:14
Calon presiden nomor urut 1 Anies Baswedan (kedua kiri) didampingi calon wakil presiden nomor urut 1 Muhaimin Iskandar (kedua kanan) memberikan salam saat menghadiri sidang putusan perselisihan hasil Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Se
ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/rwa.
Calon presiden nomor urut 1 Anies Baswedan (kedua kiri) didampingi calon wakil presiden nomor urut 1 Muhaimin Iskandar (kedua kanan) memberikan salam saat menghadiri sidang putusan perselisihan hasil Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024).
Button AI Summarize

Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati revisi Undang-Undang Pilkada yang isinya menganulir putusan Mahkamah Konstitusi mengenai syarat pencalonan dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Mantan calon presiden Anies Baswedan merespons langkah DPR dengan mengatakan saat ini demokrasi Indonesia berada di persimpangan krusial.

Anies mengatakan kondisi Indonesia saat ini ditentukan oleh keputusan anggota parlemen. "Ibu dan Bapak wakil rakyat di DPR yang masing-masing dari mereka memegang titipan suara ratusan ribu rakyat Indonesia, " kata Anies dalam cuitan di X/Twitter, dikutip Rabu (21/8).

Anies berharap anggota parlemen dapat berpikiran jernih. "Kita sampaikan harapan kuat kepada mereka semua agar berpikiran jernih dan berketetapan hati mengembalikan konstitusi dan demokrasi Indonesia kepada relnya, sesuai cita-cita reformasi," ujar dia.

Merespons aksi DPR, netizen juga ramai mengunggah gambar lambang burung Garuda berwarna biru tua bertuliskan "Peringatan Darurat". Unggahan gambar ini ramai dibagikan di Twitter dan menjadi topik terpopuler.

Poin-poin Revisi UU Pilkada yang Anulir Putusan MK

Baleg DPR menyetujui revisi UU Pilkada yang menganulir Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024. Poin tersebut terkait syarat pencalonan dalam pengajuan calon kepala daerah dan batas usia kepala daerah.

Panja menyepakati usulan ambang batas seperti aturan semula bagi partai yang memiliki kursi DPRD. Mereka menyepakati ambang batas 20% dari kursi DPRD atau 25% dari akumulasi suara sah pemilu sebagai syarat pencalonan kepala daerah. Sedangkan syarat baru yang diputuskan MK hanya berlaku bagi partai politik yang tak memiliki kursi di DPRD.

Selain itu, Baleg juga mengatur batas minimum usia calon gubernur dan wakil gubernur berumur 30 tahun saat dilantik sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih pada 7 Februari 2025. Ketentuan ini mengikuti putusan Mahkamah Agung pada Mei lalu.

Revisi ini menganulir putusan MK yang diumumkan pada Selasa, 20 Agustus 2024. MK menurunkan syarat jumlah suara bagi partai politik dan gabungan partai politik yang akan mengusulkan calon di Pilkada 2024.

Dengan putusan MK, PDIP yang sebelumnya kehilangan kesempatan mengusung calon di Jakarta kembali mendapatkan peluang. Sebelumnya PDIP yang memiliki 15 kursi di DPRD tak lagi memiliki kawan untuk berkoalisi.

Dengan hitungan baru yang dibuat MK, maka partai dengan suara minimal 7,5% ata setara 618,967 suara. Adapun PDIP bisa saja mengusulkan calon karena meraih 851.174 ribu suara di Pemilu Jakarta.

Pakar Hukum: Putusan MK Bersifat Mengikat

Berbeda dengan anggota parlemen, beberapa pakar hukum tata negara menilai putusan MK bernilai mengikat. Pakar hukum dari Universitas Gajah Mada Zainal Arifin Mochtar mengatakan putusan mengenai perubahan ambang batas untuk pencalonan kepala daerah yang diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (21/8) bersifat mengikat. Ia menyebut Dewan Perwakilan putusan itu tak bisa diubah begitu saja oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

“MK adalah penafsir konstitusi yang mengikat maka harus diikuti. Ketika dipaksa untuk tidak diikuti itu sama dengan mengangkangi putusan konstitusi,” ujar Zainal saat dihubungi, Rabu (21/8).

Menurut Zainal keputusan mengenai ambang batas pencalonan kepala daerah yang telah diputuskan oleh MK merupakan keputusan hukum yang bersifat final. Ditambah lagi keputusan berkaitan dengan syarat pencalonan kepala daerah yang ditetapkan MK telah memberi ruang demokrasi yang lebih luas kepada masyarakat.

Zainal menilai berbagai upaya yang dilakukan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengubah putusan yang telah ditetapkan MK tidak tepat. Apalagi menurut dia dalam konsep negara hukum, MK merupakan lembaga yang menjadi penafsir konstitusi. Sementara DPR menurut dia tidak punya kewenangan untuk menafsir Undang-Undang.

Di sisi lain, Zainal mempertanyakan alasan DPR melakukan revisi UU Pilkada menjelang berakhirnya tahapan pilkada. Menurut Zainal bila pun terpaksa dilakukan revisi maka harus diarahkan untuk memperbaiki beberapa aturan yang belum detail dan tidak untuk mengubah putusan MK.

Ia menilai putusan yang sudah dibuat MK merupakan angin segar dalam perbaikan demokrasi. Selama ini ia melihat terdapat diskriminasi lantaran partai harus memenuhi syarat yang besar untuk bisa mengusulkan calon dan lebih sulit dibanding calon independen. Ia pun menilai selama ini persyaratan untuk mengajukan calon merugikan partai yang memiliki kursi di DPRD tetapi tidak memiliki mitra untuk berkoalisi.

Reporter: Antara

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...