Mantan Wapres Boediono Sebut Indonesia Tak Selalu Baik-Baik Saja
Mantan Wakil Presiden Boediono mengatakan Indonesia tidak selalu baik-baik saja. Hal ini diungkapkannya merespons unjuk rasa yang terjadi dalam beberapa hari terakhir karena situasi politik Indonesia.
"Ada tidak kemarin yang ikut demo?" kata Boediono di hadapan anggota Keluarga Alumni Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (KAFEGAMA) saat Pelantikan Pengurus Pusat (PP) KAFEGAMA Periode 2024-2027 yang disiarkan di platform Youtube Kafegama, Sabtu (24/8).
Dalam forum tersebut, Boediono mengatakan sebenarnya dia tidak ingin membicarakan hal terkait demonstrasi besar-besaran yang terjadi akibat putusan MK terkait pencalonan pemilihan kepala daerah. Di forum ini dia diminta menceritakan pengalamannya di pemerintah sebagai menteri, gubernur bank sentral, hingga wakil presiden dalam menghadapi krisis yang terjadi di Indonesia.
Tapi intinya dia mengatakan setiap orang harus berkontribusi kepada negara. "Kita tidak selalu baik-baik saja. Oleh sebab itu, kontribusinya harus dari kita semua, siapa lagi yang membangun sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial, sistem keamanan, kecuali kita sendiri. Jadi, kita semua wajib berkontribusi di bidang mana pun," ujarnya.
Kondisi Indonesia dalam beberapa hari terakhir memang sedang tidak baik-baik saja. Aksi massa bertajuk "Darurat Demokrasi Indonesia" digelar di sejumlah daerah di Indonesia sejak Kamis (22/8). Gelombang protes tersebut dipicu oleh berbagai isu, mulai dari revisi Undang-Undang Pilkada hingga kondisi demokrasi yang dianggap semakin memburuk.
Lebih dari 1.000 akademisi Universitas Gadjah Mada mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi darurat demokrasi Indonesia saat ini. Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada masyarakat dan Alumni, Dr. Arie Sujito menyatakan kondisi demokrasi Indonesia menghadapi masalah serius.
“Kami prihatin dengan kondisi demokrasi dan hukum kita yang mengalami kemunduran pasca-reformasi dengan ditandai ketegangan hukum, manipulasi politik yang dapat beresiko mengancam konstitusi tatanan bernegara dan bermasyarakat,” kata Arie Sujito dalam keterangannya di situs resmi UGM, Sabtu (24/8).
Menurut Arie, para akademisi UGM ini tidak ingin demokrasi yang sudah diperjuangkan para mahasiswa dan aktivis di tahun 1998, harus mengalami stagnasi dan kembali ke masa era Orde Baru di mana kekuatan oligarki partai dan manuver elit politik mewujudkan kepentingan kelompok dan golongan. “Kami ingin mengembalikan muruah demokrasi agar tidak dirusak oleh kepentingan elite yang tengah berkuasa,” ujarnya.
Mereka telah melihat manuver politik dari mayoritas kekuatan parlemen yang melakukan pengabaian putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai syarat pencalonan pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. “Saya kira ini jelas merusak tatanan politik dan hukum serta kaidah keadaban demokrasi,” kata Arie.