Tiga Tantangan Kelompok Usia Produktif Memasuki Masa Lansia
Indonesia menempati urutan keempat dengan persentase tertinggi untuk kelompok lanjut usia (lansia) yang bekerja, setelah Timor Leste, Vanuatu, dan Kepulauan Solomon. Pada kurun waktu 2017-2021, sebanyak 31 persen lansia perempuan dan 58 persen lansia laki-laki Indonesia bekerja.
Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Restuardy Daud mengungkapkan, peningkatan jumlah lansia sebenarnya dapat memberikan keuntungan berupa bonus demografi kedua, yaitu keadaan di mana proporsi penduduk usia tua semakin banyak namun produktif dan masih memberikan sumbangan bagi perekonomian negara.
“Hal ini tidak dapat kita hindari karena jumlah usia produktif saat ini berlimpah dan beberapa tahun yang akan datang kelompok usia produktif sekarang pun juga akan memasuki masa usia lanjut atau pensiun. Dengan mengambil beberapa contoh di Indonesia, ada beberapa tantangan bagi kita ke depan,” kata Restuardy dalam sesi Local Government Forum on Older People Policies pada acara 2024 Asia-Pacific Regional Conference on Population Ageing: Reframing Ageing di Bali, Rabu (11/9/2024) malam.
Tantangan pertama, kata Restuardy yaitu aspek kesehatan. Pada 2023 lansia yang mengalami keluhan kesehatan adalah 41,49%, turun 95 persen dibandingkan 2019. Begitu juga persentase kesakitan lansia 19,72 persen pada 2023, atau turun 6 persen dibandingkan 2019. Menurut dia, hal ini menandakan pembangunan kesehatan semakin baik namun lansia penyandang disabilitas juga cenderung mengalami keluhan kesehatan yang memerlukan penanganan dan perhatian.
Restuardy menambahkan, tantangan kedua dari aspek kemandirian fiskal. Berdasarkan hasil proyeksi penduduk, rasio ketergantungan lansia terus meningkat dari 15,2 persen di 2020 menjadi 17,1 persen di 2023. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok usia produktif akan menanggung kelompok usia non produktif yang terus bertambah ke depan.
Kata Restuardy, tingginya rasio ketergantungan lansia ini akan semakin diperparah apabila tidak diambil langkah atau tidak ada kesiapan finansial. Sementara di sisi lain, persentase rumah tangga lansia yang memiliki jaminan sosial juga relatif terbatas.
“Tantangan yang ketiga adalah aspek ketenagakerjaan. Persentase lansia bekerja di Indonesia meningkat 64,5% dari 47,9% di 2014 menjadi 59,9% di tahun 2023. Akan tetapi persentase ini didominasi oleh lansia dengan pendidikan dan rata-rata penghasilan yang relatif rendah. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan lapangan kerja dan level pekerjaan menengah ke atas juga harus dibuka kesempatannya bagi lansia,” ungkap Restuardy.
Restuardy menambahkan, ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian bagi pemerintah dan pemerintah daerah ke depan. Salah satunya adalah optimalisasi pelayanan dasar dengan menerapkan standar pelayanan minimal yang juga menjangkau para lanjut usia.
Kata dia, pemerintah daerah perlu menyediakan pelayanan dasar yang juga menjangkau kebutuhan dasar warga negara, khususnya lansia, seperti akses terhadap air minum, penyediaan kebutuhan rehabilitasi sosial dasar, hingga pelayanan pencegahan dan kesiapsiagaan terhadap kebencanaan.
Unit Lead Decentralisation and Government DFAT, Kedutaan Australia Jakarta Astrid Kartika menambahkan, Pemerintah Australia berkomitmen untuk memperkuat upaya Indonesia dalam memperluas cakupan perlindungan sosial, termasuk bagi para lansia. Contohnya melalui sejumlah program kemitraan pembangunan di Australia dan Indonesia, seperti SKALA.
“SKALA juga bekerja sama dengan pemerintah provinsi untuk membangun kapasitas mereka agar kelompok masyarakat yang rentan seperti lansia dapat terlindungi dengan lebih baik. Secara khusus, saya senang dengan dukungan SKALA terhadap program PAITUA yang memberikan perlindungan kepada para lansia di Provinsi Papua Barat Daya,” jelas Astrid.
Pj Gubernur Papua Barat Daya Mohammad Musa'ad mengatakan, sudah 15 ribu orang yang mengikuti program PAITUA.
“Pada program PAITUA ini, kita memberikan perlindungan hari tua dengan memberikan bantuan langsung tunai kepada setiap orang yang berusia 65 tahun ke atas dengan memberikan bantuan Rp250 ribu per bulan. Sehingga dengan adanya dukungan ini tentunya kita harapkan akan memberikan beberapa manfaat. Manfaat yang pertama adalah mengurangi ketergantungan orang itu terhadap anak maupun keluarga,” jelas Musa’ad.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Maliki, menjelaskan, berdasarkan data Bappenas tahun 2020, 10% penduduk Indonesia adalah lansia dan diprediksi di tahun 2045 akan meningkat hingga 25% populasi penduduk Indonesia. Dengan kata lain, Indonesia tengah bergerak menuju penuaan penduduk.
Peranan pemerintah untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan dan berkurangnya beban bagi penduduk lansia menjadi penting. Apa yang dilakukan Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya, melalui Program PAITUA, secara langsung menjawab amanat Stranas Kelanjutusiaan, khususnya untuk perlindungan sosial.
"Pemerintah pusat, khususnya Bappenas, selalu konsisten mendorong keberpihakan pemerintah pada kelompok rentan. Tentunya apa yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya bisa menjadi contoh dan praktik baik bagi daerah lain tentang bagaimana inisiatif daerah bisa menjadi lebih progresif dan afirmatif terhadap kesejahteraan lanjut usia,” kata Maliki.
"Melalui program seperti PAITUA, dengan kolaborasi dengan berbagai pihak dan partisipasi kuat masyarakat, kita pastikan bahwa penduduk lansia di Indonesia, baik saat ini dan di masa mendatang, akan bahagia, mandiri, sejahtera, bermartabat, produktif, dan dapat berkontribusi aktif terhadap pembangunan mencapai Indonesia Emas 2045.” pungkas Maliki.