Bank Dunia Ungkap Penyebab Harga Beras Lokal di RI Lebih Mahal Daripada Impor
Bank Dunia menemukan harga beras di Indonesia lebih mahal hingga 20% dibandingkan beras di pasar global. Fenomena tersebut dinilai hasil dari pengetatan tata niaga beras yang dilakukan pemerintah.
Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Carolyn Turk menjelaskan, pengetatan tata niaga tersebut dilakukan melalui kebijakan nontarif. Organisasi Perdagangan Dunia mendata, rata-rata tarif impor bahan pertanian ke Indonesia turun dari 20% pada 1990-an menjadi 5,9% pada 2020.
"Pemerintah Indonesia telah menaikkan standar perdagangan nontarif untuk melindungi industri pertanian nasional. 95% sektor pangan diregulasi dengan kebijakan nontarif, seperti pengetatan kuota impor," kata Turk di Indonesia International Rice Conference 2024, Kamis (19/9).
Turk mencontohkan kebijakan nontarif lain untuk memperketat impor pangan adalah teknis kebersihan dan inspeksi otoritas secara mendadak. Ia menilai minimnya beras impor membuat harga beras di dalam negeri akhirnya lebih mahal.
Badan Pangan Nasional mendata, harga beras premium stabil di kisaran Rp 15.500 per kg selama 19 hari terakhir. Pada periode yang sama, harga beras medium stabil di kisaran Rp 13.500 per kg.
Sementara itu, Organisasi Pangan dan Pertanian atau FAO mendata harga beras premium paling tinggi bulan lalu di pasar ekspor berasal dari Thailand atau Rp 9.277 per kg. Capaian tersebut diikuti beras premium asal Pakistan senilai Rp 8.368 per kg dan dari Vietnam hanya Rp 8.519 per kg.
Selain tata niaga, Turk menilai tingginya harga beras di alam negeri disebabkan oleh lambatnya pertumbuhan produksi beras. Menurutnya, produksi beras nasional tumbuh di bawah 1% setiap tahunnya.
Turk menyampaikan, pemerintah Indonesia konsisten mengucurkan pengeluaran pemerintah besar untuk pertanian, khususnya untuk pupuk subsidi. "Tapi pengeluaran tersebut tidak tercermin pada pertumbuhan produktivitas pertanian," katanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2023 volume produksi padi Indonesia mencapai 53,98 juta ton. Capaian tersebut turun 1,4% secara tahunan dan menjadi rekor terendah setidaknya sejak 2018.
Perum Bulog sebelumnya menyatakan, ada dua kesulitan yang dihadapi untuk menyerap beras produksi lokal, yakni harga dan kualitas. Oleh karena itu, Bulog memproyeksikan hanya dapat menyerap 200.000 ton dari surplus produksi beras nasional Agustus-Oktober 2024 yang diperkirakan mencapai 1 juta ton.
Total serapan Bulog dari dalam negeri hanya dapat mencapai 1,03 juta ton tahun ini. Angka tersebut sudah termasuk penugasan pemerintah untuk menyerap 600.000 ton beras lokal sepanjang 2024.
Mantan Direktur Utama Bulog Bayu Krisnamurthi mengatakan, pembelian beras oleh Bulog dibatasi oleh Harga Pembelian Pemerintah senilai Rp 11.000 per kilogram. "Harga beras di tingkat penggilingan sudah Rp 12.100 per kg, sehingga Bulog tidak bisa beli beras lokal," kata Bayu dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR, Rabu (4/9).
Bayu mengaku dapat membeli beras lokal dalam jumlah besar dengan kondisi tersebut. Namun langkah tersebut akan mendorong inflasi nasional lantaran beras menjadi kontributor inflasi paling besar saat ini.
Di samping itu, Bayu mengaku dapat menyerap beras lokal dalam bentuk gabah di tingkat petani. Akan tetapi, langkah tersebut akhirnya dapat menggenjot kompetisi di tingkat penggilingan padi yang akhirnya meningkatkan harga beras di tingkat konsumen.