Tom Lembong akan Kembali Diperiksa Selasa Terkait Kasus Impor Gula
Kuasa hukum tersangka kasus dugaan korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan pada 2015-2016 Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, mengatakan kliennya akan kembali diperiksa Kejagung pada Selasa (5/11).
“Rencana pemeriksaan selanjutnya pada Selasa,” kata Ari di Gedung Kejaksaan Agung pada Jumat (1/11) malam.
Dia juga menjelaskan soal pemeriksaan kliennya selama 10 jam pada Jumat (1/11) terkait surat-surat yang dibuat semasa menjabat. Selain itu juga terkait surat yang masuk kepada kliennya juga sempat ditanyakan oleh pihak Kejagung.
Walaupun demikian, kliennya menegaskan bahwa semua kebijakan semasa dia menjabat sebagai Mendag sudah melalui prosedur yang benar, dan tidak mempunyai kepentingan apa pun terhadap kebijakan impor gula.
“Beliau tidak menerima komisi, tidak menerima keuntungan baik buat dirinya atau orang lain. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, dia tegaskan seperti itu,” ujar Ari.
Pada kesempatan itu, Ari juga menjelaskan bahwa kliennya tidak mengenal siapa saja yang ditunjuk terkait impor gula pada 2015-2016 tersebut. Berdasarkan keterangan Kejagung, pada Januari 2016, tersangka Tom Lembong menandatangani surat penugasan kepada PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).
Surat itu berisi penugasan kepada PPI untuk melakukan pemenuhan stok gula nasional dan stabilisasi harga gula melalui kerja sama dengan produsen gula dalam negeri untuk mengolah gula kristal mentah menjadi gula kristal putih sebanyak 300.000 ton.
PPI kemudian membuat perjanjian kerja sama dengan delapan perusahaan tersebut. Kejagung mengatakan bahwa seharusnya dalam pemenuhan stok gula dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah gula kristal putih secara langsung dan yang hanya dapat melakukan impor adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni PPI.
Akan tetapi, dengan sepengetahuan dan persetujuan Tom Lembong, persetujuan impor gula kristal mentah itu ditandatangani. Delapan perusahaan yang ditugaskan mengolah gula kristal mentah itu juga hanya memiliki izin untuk memproduksi gula rafinasi.
Hasil gula kristal putih yang diproduksi delapan perusahaan tersebut kemudian seolah-olah dibeli oleh PPI. Padahal, gula ini dijual oleh perusahaan swasta ke masyarakat melalui distributor terafiliasi dengan harga Rp16.000 per kilogram, lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET) sebesar Rp13.000 per kilogram dan tidak melalui operasi pasar.
Dari praktik tersebut, PPI mendapatkan upah sebesar Rp 105 per kilogram dari delapan perusahaan yang terlibat. Kerugian negara yang timbul akibat perbuatan tersebut sekitar Rp 400 miliar, atau nilai keuntungan yang diperoleh delapan perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik BUMN atau PPI.