Kubu Edwin Soeryadjaya dan Warga Minta Kemenlu Tengahi Polemik Kedubes India
Permasalahan antara pengusaha Edwin Soeryadjaya bersama tetangganya sesama warga Kuningan, Jakarta Selatan dengan Kedutaan Besar India belum juga menemui titik temu. Kubu Edwin dan warga Kuningan meminta Kementerian Luar Negeri menjembatani permasalahan ini.
Kuasa hukum warga Kuningan, David Tobing berharap mediasi bisa dilakukan oleh Kemenlu. Menurutnya, kementerian tersebut memahami ketentuan teknis perwakilan negara asing di Indonesia.
"Kami yakin Kemenlu akan segera mempertemukan kami. Tentunya untuk tujuan bersama bahwa warga juga tidak mau mengganggu persahabatan antar negara," kata David dalam diskusi di Jakarta Pusat, Jumat (29/11).
Menurutnya, penting bagi Kemenlu untuk memfasilitasi pertemuan antara warga, Kedubes India, hingga Pemerintah Provinsi Jakarta. Hal ini untuk mengetahui di mana dan siapa yang salah terkait izin pembangunan gedung 18 lantai di Kedubes India.
"Warga menuntut agar prosedur pembangunan dipenuhi. Apa win-win solution-nya?" kata David.
Kronologi Konflik
Kedutaan Besar India berencana membangun gedung baru setinggi 18 lantai di Jalan HR. Rasuna Said, Jakarta Selatan. Rencana pembangunan gedung baru ini menuai polemik lantaran warga sekitar merasa terdapat permasalahan izin.
David mengatakan, rencana pembangunan bangunan setinggi 18 lantai itu sejak awal ditolak oleh warga. Ia mengatakan, pada 9 Juni 2017 diadakan sosialisasi berupa konsultasi publik di Ruang Pola Kelurahan Kuningan Timur, namun tak melibatkan warga.
Terdapat tiga perwakilan warga yang diklaim memberikan persetujuan dalam bentuk penandatanganan. Namun, ketiga warga itu disebut David tak mewakili masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi.
Ia juga menyatakan sosialisasi pada 2017 itu juga tidak transparan lantaran tak mengundang pihak-pihak terkait seperti Dinas Lingkungan Hidup dan PTSP.
Pada 2021, Lurah Kuningan Timur mengirimkan Surat Nomor 105/-1758 tentang perkembangan studi AMDAL kepada warga tanpa adanya partisipasi warga yang terdampak langsung. Warga yang menolak lantas mengirim penolakan pada Kedutaan Besar India melalui Surat Nomor 054/05/2021 pada 31 Mei 2021.
Selanjutnya, Komisi Penilai AMDAL Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan surat perihal undangan pembahasan AMDAL, namun tidak tercantum undangan untuk warga sekitar termasuk Ketua RT.
Pembahasan AMDAL itu diselenggarakan pada 10 Januari 2022 namun tak ada masyarakat yang hadir lantaran tidak ada di undangan. David mengatakan, setelah pembahasan digelar, barulah diketahui bahwa dari 26 undangan, tidak ada satupun yang ditujukan kepada warga sekitar.
Kemudian, pada 14 April 2022, diadakan sosialisasi oleh konsultan pembangunan Gedung Kedubes India. Sosialisasi itu tak dihadiri oleh Dinas Lingkungan Hidup, PTSP, dan Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP).
Dalam pertemuan itu, warga mengusulkan agar seluruh masyarakat diundang. Warga juga meminta pertemuan dihadiri oleh TGUPP, Dinas Lingkungan Hidup, serta PTSP. Namun pertemuan itu tetap dilanjutkan tanpa mengamini permintaan warga.
David mengatakan, pada 7 Maret 2023, dirinya bersama beberapa warga hadir memenuhi undangan pertemuan di Kantor Kedutaan Besar India. David dalam pertemuan itu meminta berita acara ditambahkan: warga yang diwakili masih menolak pembangunan Kedubes India.
Alasannya, penyelenggara Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta sudah mempersiapkan berita acara yang isinya sepihak tanpa melibatkan peserta sosialisasi termasuk warga dan dirinya selaku kuasa hukum warga.
Setelah protes itu dicantumkan, berita acara sosialisasi ditandatangani oleh pemrakarsa kegiatan yakni Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta dan 3 orang perwakilan warga yakni kuasa hukum, pihak yang mengaku sebagai penasihat RW 02.
Namun menurut David, perwakilan tersebut tak tinggal sekitar lokasi. Oleh sebab itu, warga menilai penyelenggara telah melakukan tindakan maladministrasi.
David juga mengatakan, selain menilai adanya maladministrasi, ia juga melihat pimpinan sosialisasi tak menampung keberatan warga. Ini lantaran, draf berita acara telah dibuat sebelum sosialisasi dilakukan.
Padahal, kata David, dalam acara itu tak ada permintaan persetujuan warga untuk rencana pembangunan Kedutaan Besar India. Ia mengatakan ada 35 warga yang berdomisili di Jalan Denpasar Raya, Jalan Klungkung, Jalan Besakih, dan Jalan Ubud menolak pembangunan Kedutaan Besar India.
David mengatakan, sosialisasi itu bukan beragendakan untuk melanjutkan persetujuan lingkungan Kedubes India. "Karena yang disampaikan hanya upaya memitigasi dampak pembangunan dan bukan menghilangkan dampak," katanya.
Pada 4 April 2023, dilakukan audiensi oleh asisten pembangunan yang hasilnya menyarankan pihak wali kota untuk melakukan pertemuan langsung ke rumah masyarakat yang tak menyetujui pembangunan. Namun menurutnya saran itu tak digubris.
Kemudian, pada 10 Juli 2023, hasil rapat di Kecamatan Setiabudi meminta Kedutaan Besar India untuk melakukan pertemuan tersendiri dengan warga yang menggugat pembangunan. Namun, hingga kini permintaan itu tak diamini.
David mengungkapkan, pada 8 Desember 2023, warga melihat papan PBG Kedubes India SK-PGB-317402-01092023-001. Warga menduga penerbitan PGB itu tanpa AMDAL dan izin lingkungan. David mengatakan, PGB seharusnya dicabut karena sejak awal terdapat pihak lain yang mengatasnamakan warga.
Warga telah melakukan scan terhadap barcode yang terdapat di papan PGB dan tercantum nama Indarini Ekaningtiyas sebagai Kepala PTSP Kota Administrasi Jakarta Selatan.
Warga Menang Gugatan
Pada 4 Maret 2024, Edwin dan warga mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta agar PBG dibatalkan. David mengatakan, dalam persidangan diketahui nama pejabat yang tercantum di barcode PBG seharusnya Benni Aguscandra, bukan Indarini Ekaningtiyas.
Dalam sidang perkara Nomor 93/G/PTUN.JKT/2024 terungkap bahwa izin lingkungan terbit pada 25 Oktober 2023, sementara PBG terbit 1 September 2023. Hal ini, kata David, bertentangan dengan pasal 1 PP Nomor 27 tahun 2012 tentang izin lingkungan.
Dalam putusan yang dibacakan secara e-court oleh majelis hakim PTUN Jakarta pada 29 Agustus 2024, memutuskan gugatan warga dikabulkan. Atas putusan itu, Pemprov DKI melakukan banding.
"Sejak putusan PTUN, karena ada putusan penundaan, maka pembangunan itu disetop hingga saat ini," katanya.