Jejak Presidential Threshold 20% hingga Gugur di MK, Dulu Disokong PDIP - Golkar
Keputusan terbaru yang diumumkan Mahkamah Konstitusi tentang penghapusan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold pada Kamis (2/1) mengubah dinamika politik Tanah Air. Keputusan tersebut membuka peluang munculnya calon presiden yang lebih banyak pada pemilu 2029 mendatang.
Presidential threshold 20% adalah salah satu aturan yang paling kontroversial dalam politik Indonesia. Aturan ini mengatur ambang batas dukungan partai politik atau gabungan partai politik di parlemen untuk dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilihan umum.
Dalam putusan Nomor 87, 121 dan 129/PUU-XXII/2024 itu Mahkamah Konstitusi membatalkan ketentuan Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sebelum dibatalkan, ketentuan Pasal 222 UU Pemilu mensyaratkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden harus didukung oleh sekurang-kurangnya 20% kursi partai politik (parpol) atau gabungan parpol di DPR, atau minimal 25% suara sah nasional parpol atau gabungan parpol berdasarkan hasil Pemilu lima tahun sebelumnya.
Dengan pembatalan itu, maka setiap parpol peserta Pemilu mendatang berhak mencalonkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tanpa ketentuan ambang batas. Permohonan untuk menguji ketentuan Pasal 222 UU Pemilu itu telah dilakukan lebih dari 30 kali, dan baru pada pengujian terakhir ini dikabulkan.
Jejak Panjang Pemberlakuan Presidential Threshold
Presidential threshold digunakan di Indonesia sejak Pemilu 2004, ketika pemilihan presiden secara langsung dilakukan untuk pertama kalinya. Aturan dasar yang dijadikan pedoman saat itu adalah UU nomor 23 tahun 2003 UU tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
"Pasangan calon presiden dan wakil presiden, hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR," bunyi Pasal 5 Ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 2003.
Kemudian, terdapat perubahan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold pada pemilu berikutnya yaitu di 2009. Ketika itu, aturan yang digunakan merujuk UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan tetap digunakan pada pemilu berikutnya di 2014.
"Pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif," bunyi aturan ambang batas pencalonan presiden dalam UU nomor 42 tahun 2008.
Lalu saat pemilu 2019, aturan yang digunakan menggunakan UU nomor 7 Tahun 2017, dikarenakan Pilpres dan Pileg dilaksanakan serentak pada April 2019. Sedangkan, saat pemilu 2004, 2009, dan 2014, Pileg digelar lebih dulu sebelum Pilpres. Aturan ambang batas yang digunakan pada pemilu 2019 merujuk pada pasal 222 UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, dan berlanjut pada pilpres 2024 meskipun banyak pihak mengkritiknya.
Kritik terhadap Presidential Threshold 20%
Sejak penerapannya, presidential threshold 20% menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk akademisi, politisi, dan masyarakat sipil. Penggunaan ambang batas 20% dinilai tidak demokratis karena dianggap membatasi partisipasi politik dan peluang munculnya calon alternatif, sehingga mengurangi hak memilih rakyat.
Ambang batas 20% juga dinilai tidak relevan dengan pemilu serentak. Dengan pelaksanaan pemilu legislatif dan presiden secara bersamaan mulai Pemilu 2019, penetapan ambang batas dianggap tidak relevan karena hasil legislatif belum diketahui saat pendaftaran calon presiden.
Kritik lainnya lantaran aturan ini juga dinilai hanya menguntungkan partai besar dan mempersulit partai kecil untuk mencalonkan kandidatnya. Kritik terhadap penggunaan presidential threshold 20% menguat saat revisi Undang-Undang pemilu dan pilpres dibahas.
Pada saat UU nomor 7 tahun 2017 partai besar seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), danGolkar ditambah Nasional Demokrat (NasDem) bersikeras mempertahankan pasal tersebut. Mereka beralasan penggunaan ambang batas presiden 20% akan mendukung sistem presidensial yang dianut Indonesia. Politikus PDIP saat itu mengatakan presiden yang didukung mayoritas anggota parlemen akan lebih memiliki legitimasi dalam menjalankan pemerintahan.
Berbeda dengan PDIP dan Golkar, mayoritas fraksi menginginkan ambang batas pencalonan presiden ditiadakan atau nol persen. Pada saat paripurna pengesahan UU Nomor 7 tahun 2017, empat fraksi di parlemen yaitu Gerindra, Demokrat, Partai Amanat Nasional, dan Partai Keadilan Sejahtera menggelar walk out saat pengambilan keputusan lantaran menolak ambang batas presiden 20%. Namun sikap empat partai ini berubah saat menghadapi pemilu 2024.
Upaya Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi
Sejak diberlakukannya, aturan presidential threshold beberapa kali digugat ke Mahkamah Konstitusi melalui uji materi. Para pemohon menilai aturan ini bertentangan dengan prinsip demokrasi dan Pasal 6A UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik tanpa menyebutkan ambang batas.
Namun, hingga tahun 2023, MK menolak berbagai permohonan uji materi tersebut dengan alasan bahwa penentuan presidential threshold merupakan kewenangan pembuat undang-undang (DPR dan pemerintah). Tercatat lebih dari 30 kali UU ini digugat ke MK sampai akhirnya dibatalkan pada sidang yang berlangsung Kamis (2/1) kemarin.
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa aturan ini tidak sesuai dengan prinsip pemilu yang demokratis dan inklusif sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Putusan ini juga didasarkan pada argumen bahwa pemilu serentak membuat relevansi presidential threshold menjadi tidak valid karena tidak ada dasar kuat untuk menggunakan hasil pemilu legislatif sebelumnya.
Pembatalan presidential threshold 20% membuka ruang bagi demokrasi yang lebih inklusif di Indonesia. Partai-partai kecil kini memiliki kesempatan untuk berkompetisi secara setara dalam pemilu presiden. Namun, perubahan ini juga menimbulkan tantangan baru, seperti potensi meningkatnya jumlah pasangan calon yang dapat menambah dinamika pilpres.