MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden, Pilpres Diprediksi akan Lebih Sehat

Muhamad Fajar Riyandanu
3 Januari 2025, 17:19
mk, pilpres, partai
ANTARA FOTO/Fauzan/rwa.
Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo (tengah) didampingi Wakil Ketua MK Saldi Isra (kedua kiri), Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih (kiri), Arief Hidayat (kedua kanan) dan Guntur Hamzah (kanan) memimpin sidang putusan uji materi undang-undang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (2/1/2025).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Sejumlah pakar hukum berpandangan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan ketentuan syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold dapat mewujudkan demokrasi yang lebih inklusif serta membuka persaingan politik lebih sehat.

Putusan MK juga dianggap dapat mencegah situasi pasangan calon tunggal dalam pemilihan presiden (pilpres) 2029 sekaligus dipercaya dapat meningkatkan tingkat partisipasi pemilih.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati (Ninis), menganggap hasil putusan MK tersebut menjawab kekhawatiran terkait peluang adanya pasangan calon tunggal di pilpres mendatang.

Kekhawatiran ini cenderung beralasan mengingat adanya 37 pasangan calon tunggal di pentas pemilihan kepada daerah (Pilkada) 2024. "Karena fenomena pasangan calon tunggal ini naik terus. Kalau ambang batas masih berlaku, bukan tidak mungkin itu bisa terjadi saat pilpres," kata Ninis saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Jumat (3/1).

MK menghapus ketentuan presidential threshold setelah mengabulkan gugatan yang diajukan Enika Maya Oktavia dengan nomor perkara 62/PUU-XXII/2024. Pemohon menggugat Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.

Dalam pertimbangannya, MK menilai ambang batas minimal pencalonan tak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat. Hakim MK menyebut ambang batas melanggar moralitas, rasionalitas, dan bertentangan denganPasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Keputusan MK tersebut membatalkan ketentuan Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Sebelum dibatalkan, ketentuan Pasal 222 UU Pemilu mensyaratkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden harus didukung oleh sekurang-kurangnya 20% kursi partai politik (parpol) atau gabungan parpol di DPR, atau minimal 25% suara sah nasional parpol atau gabungan parpol berdasarkan hasil Pemilu lima tahun sebelumnya.

Ninis mengatakan putusan MK juga berpotensi mengubah corak politik di Indonesia yang belakangan ini cenderung mengadopsi praktik koalisi besar antar parpol. 

Sebaliknya, penghapusan ambang batas dapat menciptakan koalisi antar parpol yang alamiah, seperti memperhitungkan untuk mengusung figur yang kompeten dalam pilpres nantinya.

Ninis menganggap penghapusan presidential threshold yang dianggap dapat memicu banyaknya pasangan calon presiden dan wakil presiden bukan masalah signifikan. Hal tersebut dianggap malah dapat meningkatkan tingkat pertisipasi pemilih karena beragam masyarakat disuguhkan beragam pasangan calon.

"Jadi pasangan calon yang banyak tadinya, bakal terseleksi lagi dan yang terpilih akan mendapatkan suara mayoritas juga," kata Ninis.

Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari mengatakan penghapusan presidential threshold merupakan sinyal positif untuk membuka persaingan politik yang sehat. Menurut Feri, partai politik juga akan terpancing untuk lebih mengusung figur calon presiden dan wakil presiden mumpuni dan disukai oleh publik.

"Orang-orang yang punya rekam jejak yang baik karena mereka lah yang akan disukai oleh pemilih dan akan memberikan efek penggelembungan suara yang baik dalam pemilu," kata Feri lewat pesan suara WhatsApp pada Jumat (3/1).

Meski begitu, penghapusan presidential threshold tak serta merta dapat menghilangkan praktik dinasti politik di dalam negeri. Namun, ia menganggap pencabutan ambang batas dapat menghadirkan perlawanan lewat kehadiran calon pasangan alternatif yang disukai oleh rakyat.

"Putusan MK yang menjadi pintu yang sangat baik bagi demokrasi konstitusional kita di masa depan harus dibarengi dengan kesadaran publik untuk untuk melindungi apa yang sudah dilakukan MK" ujar Feri.

Pemerintah menghormati Putusan MK yang membatalkan ketentuan presidential threshold. Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa putusan MK itu mengikat semua pihak.

Yusril menegaskan pemerintah terikat dengan Putusan MK itu tanpa dapat melakukan upaya hukum apapun. "Sesuai ketentuan Pasal 24C UUD 45, putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat," kata Yusril melalui keterangan tertulis, Jumat (3/1).

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...